VOL. XIX — JANUARI 2019

Seri Hukum Pidana – Pencegahan Keluar Negeri Hanya Boleh Diperpanjang Satu Kali

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-IX/2011 (“Putusan MK 64/2011”) mengubah aturan mengenai perpanjangan terhadap pencegahan seseorang untuk bepergian ke luar negeri yang pada awalnya perpanjangan dapat dilakukan berkali-kali, namun setelah adanya Putusan MK 64/2011 perpanjangan hanya dapat dilakukan sebanyak 1 (satu) kali. Sebelumnya, berdasarkan Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“UU Keimigrasian”), pencegahan terhadap seseorang untuk bepergian ke luar negeri berlaku paling lama 6 (enam) bulan, dan dapat berkali-kali diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 6 bulan. Hal ini menyebabkan seseorang dapat dikenakan pencegahan untuk waktu yang tidak tertentu, selagi masih diperpanjang oleh yang berwenang, maka pencegahan akan terus dilakukan. Akan tetapi, setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-IX/2011, perpanjangan atas pencegahan seseorang bepergian ke luar negeri hanya dapat dilakukan sebanyak 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 6 (enam bulan).

Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian:
Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.

Adalah Prof. Yusril Ihza Mahendra yang mengajukan permohonan uji materiil Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian. Dalam permohonannya, Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian khususnya frasa “…dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan” dianggap dapat mengakibatkan perpanjangan pencegahan seseorang untuk bepergian keluar negeri berlaku tanpa batasan waktu dan dapat dilakukan terus menerus, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28E UUD 1945. Kemudian, atas permohonan uji materiil tersebut MK menilai bahwa frasa“…dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan” memberikan penafsiran bahwa perpanjangan bisa dilakukan untuk waktu yang tidak tertentu. Hal itu menurut pertimbangan MK dapat menimbulkan kesewenang-wenangan pejabat yang berwenang dan mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum, khususnya bagi tersangka yang sedang menghadapi proses penyidikan suatu tindak pidana.

Dengan demikian, sesuai Putusan MK tersebut, pencegahan terhadap seseorang untuk bepergian ke luar negeri hanya dapat dilakukan paling lama 6 (bulan) dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 6 (bulan) atau apabila diakumulasikan menjadi paling lama 1 (satu) tahun. Setelah jangka waktu dan perpanjangannya habis, maka pencegahan menjadi hapus dan seseorang yang terkena pencegahan tersebut dapat bepergian ke luar negeri. Apabila jangka waktu pencegahan telah berakhir dan tidak dapat dilakukan perpanjangan lagi, maka pihak yang dicekal dapat mengajukan keberatan pada Pejabat yang mengeluarkan keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) UU Keimigrasian yang menyatakan “Setiap orang yang dikenai Pencegahan dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan Pencegahan”. (AST)

 


 

Seri Hukum HAKI – Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual Wajib Dicatatkan di Kemenkumham

Perjanjian Lisensi atas hak kekayaan intelektual kini wajib dicatatkan pada Kementerian Hukum dan HAM (“Kemenkumham”). Kewajiban tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2018 tanggal 26 Juli 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual (“PP 36/2028”). PP 36/2018 tidak mengatur definisi dari Perjanjian Lisensi, namun dari Pasal 3 PP 36/2018 dapat dimaknai bahwa Perjanjian Lisensi adalah suatu perjanjian antara pemegang hak kekayaan intelektual (Pemberi Lisensi) kepada pihak lain (Penerima Lisensi) untuk melaksanakan hak eksklusif (hak ekonomi) yang dimilikinya. Pencatatan Perjanjian Lisensi sendiri terletak pada objek kekayaan intelektual, yaitu: Hak cipta dan hak terkait, Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, dan Varietas Tanaman, yang masa perlindungannya masih berlaku atau belum dihapus. Pihak yang dapat memohonkan pencatatan Perjanjian Lisensi adalah Pemberi Lisensi, Penerima Lisensi ataupun Kuasanya.

Sesuai Penjelasan PP 36/2018, tujuan pencatatan Perjanjian Lisensi adalah untuk memudahkan pembuktian bila dikemudian hari terjadi perselisihan, dan untuk melindungi pihak ketiga bila terkait dengan Perjanjian Lisensi. Oleh karenanya, pihak yang membuat Perjanjian Lisensi harus memohonkan pencatatannya ke Kemenkumham, khususnya Dirjen HaKI. Permohonan pencatatan Perjanjian Lisensi itu sendiri wajib dibuat dalam bentuk tertulis dan paling sedikit harus memuat syarat-syarat sebagaimana Pasal 7 ayat (2) PP 36/2028 yaitu: (a) Tanggal, bulan, tahun, dan tempat perjanjian lisensi ditandatangani; (b) Nama dan alamat pemberi lisensi dan penerima lisensi; (c) Objek perjanjian lisensi; (d) Ketentuan mengenai lisensi bersifat ekslusif atau noneksklusif, termasuk sublisensi; (e) Jangka waktu perjanjian; (f) Wilayah berlakunya lisensi; dan (g) Pihak yang melakukan pembayaran biaya tahunan untuk paten. Setelah permohonan pencatatan diajukan, Kemenkumham akan melakukan pemeriksaan kelengkapan dan kesesuaian dokumen dalam waktu 5 (lima) hari. Sejak pemeriksaan dinyatakan lengkap dan sesuai, Kemenkumham mencatatkan Perjanjian Lisensi dalam Daftar Umum Perjanjian Lisensi sesuai objek hak kekayaan intelektualnya, kemudian pencatatan tersebut diumumkan dalam berita resmi sesuai objek hak kekayaan intelektualnya. Apabila perjanjian lisensi tidak dicatatkan dan tidak diumumkan pada Kemenkumham, maka sebagaimana Pasal 15 ayat (4) PP 36/2028, Perjanjian Lisensi tidak memiliki akibat hukum bagi pihak ketiga.

Pada prinsipnya, dalam Perjanjian Lisensi tersebut melekat syarat-syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Dan, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, Perjanjian Lisensi jelas hanya mengikat bagi para pembuatnya yakni Pemberi Lisensi dan Penerima Lisensi. Namun, agar Perjanjian Lisensi tersebut dapat mengikat pihak ketiga, hukum mensyaratkan adanya kewajiban pencatatan di instansi yang berwenang sebagaimana diperkenankan menurut Pasal 1317 KUHPerdata. (WG/AST)

 


 

Seri Hukum Pidana – Penghentian Penyelidikan Sebagai Objek Praperadilan

Objek Praperadilan kembali memperoleh perluasan. Selain yang telah ditetapkan menurut Pasal 77 KUHAP, objek lainnya dari Praperadilan meliputi juga penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Dan saat ini, objek Praperadilan kembali bertambah dengan masuknya “penghentian penyelidikan” sebagai objek Praperadilan sebagaimana amar Putusan Pengadilan Negeri Ende, Flores NTT Nomor 02/Pid.Prap/2018/PN.End yang menyebutkan “Menyatakan tindakan penghentian penyelidikan oleh Termohon/Penyelidik Polres Ende terkait dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam bentuk Gratifikasi merupakan pembiaran terhadap suatu tindak pidana, oleh karena itu penghentian penyelidikan tersebut adalah tidak beralasan menurut hukum serta Memerintahkan kepada Termohon/Penyelidik Polres Ende untuk melanjutkan proses hukum terhadap perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang dicatat dalam Laporan Informasi nomor: LI / 06 / X / 2015 /Reskrim tanggal 5 Oktober 2015 dan Surat Perintah Penyelidikan nomor:Sprin-lidik/09/X/2015/Reskrim tanggal 16 Oktober 2015 tersebut”. Dalam pertimbangan hukumnya dinyatakan bahwa Penyelidikan merupakan bagian tak terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain. Dengan demikian, merujuk putusan tersebut maka “penghentian penyelidikan” juga merupakan objek Praperadilan. (WG/AST)