Seri Hukum Tanah – Hak Pemilik Tanah atas Akses Jalan
Belum lama ini terdengar berita tentang Eko Purnomo warga Kampung Sukagalih, Desa Pasir Jati, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung, Jawa Barat yang tidak mendapatkan akses jalan keluar masuk rumah miliknya karena dikepung oleh bangunan-bangunan di sekeliling rumahnya. Kejadian yang menimpa Eko dapat menimpa siapapun yang tinggal di pemukiman padat penduduk. Lantas, bagaimana hukum mengatur hak seseorang yang tidak memiliki akses jalan ke rumahnya?
Menurut hukum, seseorang dapat menuntut haknya kepada tetangga pemilik tanah untuk dibukakan akses jalan menuju ke rumahnya dengan memberikan ganti rugi yang seimbang. Hak tersebut diatur dalam Pasal 667 KUHPerdata yang menyatakan“Pemilik sebidang tanah atau pekarangan, yang demikian terjepit letaknya antara tanah-tanah orang lain, sehingga ia tidak mempunyai pintu keluar ke jalan atau ke parit umum, berhak menuntut kepada pemilik-pemilik pekarangan tetangganya, supaya memberi jalan kepadanya melalui pemilik tetangga itu, dengan mengganti rugi yang seimbang”. Merujuk ketentuan tersebut, maka demi hukum tetangga pemilik tanah wajib memberikan sebidang tanahnya untuk dijadikan akses jalan bagi tetangganya yang tidak memiliki akses jalan.
Apakah seluruh tetangga pemilik tanah wajib memberikan akses jalan? Merujuk Pasal 668 KUHPerdata, kewajiban memberikan akses jalan diutamakan kepada tetangga pemilik tanah yang terdekat dengan jalan atau parit umum. Pasal 668 KUHPerdata menyatakan “Jalan keluar itu harus diadakan pada sisi pekarangan atau tanah yang terdekat dengan jalan atau parit umum, namun dalam suatu jurusan yang demikian sehingga menimbulkan kerugian yang sekecil-kecilnya bagi pemilik tanah yang dilalui”. Artinya, tetangga pemilik tanah yang terdekat dengan jalan lah yang diutamakan untuk memberikan akses jalan kepada tetangga yang tidak memiliki akses jalan ke rumahnya. Pemberian akses jalan tersebut, selain dengan ganti rugi yang wajar, juga hanya boleh menimbulkan kerugian seminimal mungkin bagi tetangga pemilik tanah yang memberikan akses jalan tersebut. Dalam hal tetangga pemilik tanah menolak memberikan akses jalan, seseorang yang tidak memiliki akses jalan ke rumahnya dapat mengajukan tuntutan terhadap tetangga pemilik tanah tersebut ke Pengadilan Negeri atas dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana Pasal 1365 jo. Pasal 667 dan Pasal 668 KUHPerdata, karena dianggap “melanggar hak subjektif orang lain”. Hal ini sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 58/Pdt.G/2017/PN.Pwt tanggal 24 Mei 2018 yang memberikan hak kepada pemilik tanah untuk meminta diberikan akses jalan kepada tetangga pemilik rumah yang terdekat dengan jalan dengan memberikan ganti rugi yang wajar. (FS/WG)
Seri Hukum Pidana – Hadiah dan Penghargaan Bagi Pelapor Tindak Pidana Korupsi
Peran serta masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana korupsi semakin mendapat perhatian serius dari Pemerintah, salah satunya melalui Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“PP 43/2018”). Berdasarkan PP 43/2018 tersebut peran serta masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana korupsi diwujudkan dalam bentuk hak untuk:
1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
2. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
4. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada Penegak Hukum;
5. Memperoleh perlindungan hukum.
Berdasarkan Pasal 13 PP 43/2018, masyarakat yang berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi diberikan penghargaan. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang secara aktif, konsisten dan berkelanjutan bergerak di bidang pencagahan tindak pidana korupsi atau Pelapor tindak pidana korupsi. Penghargaan yang diberikan dapat berupa piagam dan/atau premi. Untuk tahap pencegahan, masyarakat hanya berhak mendapat piagam, sedangkan untuk tahap pemberantasan dan pengungkapan masyarakat berhak mendapat piagam dan/atau premi. Besaran premi yang diberikan adalah 2/1000 (dua permil) dari jumlah kerugian negara yang berhasil dikembalikan atau maksimum Rp. 200 juta. Untuk tindak pidana korupsi berupa suap, premi yang diberikan sebesar 2/1000 (dua permil) dari nilai uang suap dan/atau uang dari hasil lelang barang rampasan atau maksimum sebesar Rp. 10 juta.
Pemberian penghargaan dilaksanakan dalam waktu paling lambat 7 hari kerja sejak tanggal berakhirnya penilaian berdasarkan keputusan pimpinan instansi Penegak Hukum yaitu KPK, Polri dan Kejaksaan Agung. Pemberian penghargaan terhadap tindak pidana korupsi dalam bentuk suap akan dilaksanakan setelah uang suap dan/atau hasil rampasan disetor ke kas negara. Terhadap penghargaan dalam bentuk premi, belum termasuk potongan pajak penghasilan (PPh). Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. Per-11/PJ/2015 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan, wajib pajak yang menerima hadiah atau penghargaan dikenakan PPh sebesar 15% sampai 35% tergantung subjek wajib pajaknya, apakah orang pribadi, wajib pajak luar negeri atau Bentuk Usaha Tetap. (AST/WG)
Seri Hukum Acara Perdata – Perkara/Sengketa yang Dikecualikan dari Prosedur Mediasi di Pengadilan
Pada tanggal 03 Februari 2016, Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang menggantikan PERMA No.1 Tahun 2008. Hakim, Mediator, Para Pihak yang berperkara dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti proses mediasi dengan ancaman Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (bagi Penggugat yang tidak beritikad baik) atau Gugatan dikabulkan (bagi Tergugat yang tidak beritikad baik). Mediasi yang dimaksud meliputi lingkup peradilan umum dan peradilan agama, kecuali sengketa yang diselesaikan menurut prosedur Pengadilan Niaga ataupun Pengadilan Hubungan Industrial, Keberatan atas Putusan KPPU, Keberatan atas Putusan BPSK, Keberatan atas Putusan Komisi Informasi, permohonan pembatalan Putusan Arbitrase, perselisihan partai politik, Gugatan sederhana, sengketa yang pemeriksaannya ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya di dalam perundang-undangan, sengketa tanpa kehadiran salah satu pihak yang berperkara, gugatan rekonpensi ataupun intervensi, sengketa tentang pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan, dan sengketa yang sudah dilakukan mediasi oleh Mediator bersertifikat diluar Pengadilan. Jangka waktu mediasi ditentukan maksimal 30 hari kalender, dan dapat diperpanjang maksimal 30 hari.