Seri Hukum Konstitusi – Syarat Legal Standing Hak Uji Materil di Mahkamah Agung
Setiap warga negara yang haknya dirugikan oleh suatu perundang-undangan dibawah Undang-Undang berhak mengajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”, yang kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 31 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, dan teknis pelaksanaannya diatur dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (PERMA 01/2011). Berdasarkan Pasal 1 butir (4) PERMA 01/2011, Pemohon Uji Materil (Pemohon Keberatan) adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari Undang-Undang. Sekilas, legal standing hak uji materiil cukup hanya kelompok masyarakat atau perorangan yang keberatan atas berlakunya perundang-undangan dibawah Undang-Undang. Namun, lebih dari itu, Mahkamah Agung dalam praktiknya telah menetapkan legal standing Pemohon Hak Uji Materiil setidaknya harus memenuhi 5 syarat, yakni :
a. Adanya hak pemohon yang diberikan oleh suatu Peraturan Perundang-undangan;
b. hak tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.
Kelima syarat tersebut sebagaimana pertimbangan Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 54 P/HUM/2013 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 62 P/HUM/2013. Kelima syarat tersebut cukup konsisten diterapkan oleh Mahkamah Agung, salah satunya dalam Putusan Nomor 66 P/HUM/2017 Tanggal 13 Desember 2017 dalam pengujian Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Menurut Mahkamah Agung, Para Pemohon, yang notabebe adalah para pengemudi ojek online, tidak dapat membuktikan kerugian yang dialaminya dengan berlakunya peraturan perundang-undangan yang menjadi objek sengketa tersebut. (WG)
Seri Hukum Lalu Lintas – Perusahaan Aplikasi di Bidang Transportasi Darat Dilarang Menetapkan Tarif dan Memberikan Promosi di Bawah Tarif Batas Bawah yang Telah Ditetapkan
Transportasi darat berbasis aplikasi (atau sering disebut ojek online) dengan tarif murah telah menjadi magnet kuat bagi pengguna transportasi untuk beralih dari kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi menjadi pengguna transportasi online seperti Gojek, Grab maupun Uber. Tarif yang diberikan tidak hanya murah, bahkan sering di bawah tarif batas bawah yang telah ditentukan. Perusahaan aplikasi bahkan sering memberikan tarif promo bahkan gratis bagi penggunanya sebagai bentuk perang tarif antar perusahaan aplikasi transportasi darat. Tarif murah tersebut belakangan menimbulkan polemik karena ditentukan sepihak oleh perusahaan aplikasi dan merugikan cenderung pendapatan pengemudinya. Kondisi ini mendorong Menteri Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (Permenhub 26/2017). Berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf (a) Permenhub 26/2017, perusahaan aplikasi dilarang menetapkan tarif dan memberikan promosi tarif di bawah tarif batas bawah. Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 37 P/HUM/2017 Tanggal 20 Juni 2017, ketentuan tersebut dicabut bersama dengan ketentuan lainnya di dalam Permenhub 26/2017 karena dianggap bertentangan dengan UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, dan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Setelah dicabut MA, pada tanggal 24 Oktober 2017, Menteri Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (Permenhub 108/2017) yang menghidupkan kembali ketentuan mengenai perusahaan aplikasi dilarang menetapkan tarif dan memberikan promosi tarif di bawah tarif batas bawah. Dalam Pasal 65 huruf (d) dan (e) Permenhub 108/2017 dinyatakan bahwa perusahaan aplikasi dilarang bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum yang melakukan kegiatan menetapkan tarif dan memberikan promosi tarif di bawah tarif batas bawah yang telah ditetapkan. Namun, Permenhub 108/2017 kemudian diajukan uji materiil ke Mahkamah Agung. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 15 P/HUM/2018 Tanggal 31 Mei 2018, sebagian pasal dalam Permenhub 108/2017 dicabut oleh Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung sebelumnya dan UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Khusus mengenai Pasal 65 huruf (d) dan (e) Permenhub 108/2017, Mahkamah Agung tidak mencabut ketentuan tersebut karena dipandang tidak bertentangan dengan Pasal 28 Permenhub 108/2017 mengenai penentuan tarif batas atas dan batas bawah yang hanya boleh ditetapkan oleh seluruh pemangku kepentingan, bukan sepihak oleh perusahaan aplikasi.
Dengan demikian, setiap bentuk penetapan tarif ataupun promosi tarif dibawah tarif batas bawah oleh perusahaan aplikasi adalah dilarang. Pelanggaran atas ketentuan ini diancam dengan sanksi administrasi bagi perusahaan aplikasi oleh Kemenkominfo. Berdasarkan Pasal 78 Permenhub 108/2017, sanksi bagi perusahaan aplikasi dijatuhkan oleh Kemenkominfo. Namun hingga kini belum ada Peraturan Kemenkominfo yang mengatur mengenai sanksi tersebut kecuali ketentuan mengenai pemblokiran situs internet bermuatan negatif yang diatur dalam Permenkominfo Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif yang mana pemblokiran hanya dapat dilakukan terhadap situs internet yang bermuatan pornografi dan kegiatan ilegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (WG)
Seri Hukum Acara Perdata – Jangka Waktu Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan Negeri dan Pengadilian Tinggi
Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan. Menurut SEMA tersebut, penyelesaian perkara di Pengadilan Negeri ditentukan maksimal 5 (lima) bulan, Pengadilan Tinggi maksimal 3 (tiga) bulan. Untuk perkara tertentu, dimungkinkan lebih dari waktu tersebut dengan kewajiban membuat laporan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi dengan tembusan Ketua Mahkamah Agung.