VOL. VI — DESEMBER 2017

Seri Hukum Keluarga – Perjanjian Perkawinan Bisa Dibuat Sebelum dan Selama Perkawinan

Seorang Klien terkejut ketika disarankan untuk membuat Perjanjian Perkawinan. Asumsinya, karena Ia sudah menikah, untuk membuat Perjanjian Perkawinan, maka Ia harus bercerai dengan istrinya terlebih dahulu karena di dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-undang Perkawinan (“UU Perkawinan”) disebutkan “Perjanjian Perkawinan dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan….”. Pada tanggal 11 Mei 2015, seorang Ibu/Istri bernama Ike Farida mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 29 UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi. Atas permohonan uji materi tersebut, Mahkamah Konstiusi dalam Putusan No. 69/PUU-XIII/2015 tanggal 27 Oktober 2016 menyatakan bahwa “Pasal 29 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis …..”.

Dengan adanya putusan tersebut, Pasal 29 UU Perkawinan telah mengalami perluasan makna, terutama mengenai jangka waktu untuk membuat Perjanjian Perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menegaskan dan mengatur lebih lanjut mengenai Perjanjian Perkawinan yang dapat dilakukan pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan. Putusan ini memungkinkan setiap pasangan suami istri untuk membuat Perjanjian Perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan, jika diperlukan. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perjanjian Perkawinan ini sangat positif dan diperlukan. Tidak dapat dipungkiri, pasangan yang akan melangsungkan perkawinan seringkali menganggap tidak perlu membuat Perjanjian Perkawinan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pasangan tersebut kemudian merasa perlu untuk melakukan Perjanjian Perkawinan. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka keinginan pasangan suami istri untuk membuat Perjanjian Perkawinan selama dalam ikatan perkawinan dapat dilakukan. (NO)

 


Seri Hukum Pidana – Sanksi Pidana Bagi Pelaku Nikah Siri

Fenomena kawin siri selalu menjadi bahan perdebatan hangat bagi kaum pria maupun wanita. Nikah siri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin (pengurus, pencatat kematian serta segala sesuatu yang berhubungan dengan nikah, cerai, talak, rujuk) dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama. Menurut Islam, pernikahan tersebut sah. Namun yang seringkali terjadi, nikah siri dilakukan oleh seorang suami yang sudah mempunyai Isteri, bahkan sudah mempunyai anak. Dalam hal ini, Isteri dan anak adalah pihak yang paling dirugikan, baik secara moril maupun materiil. Menghadapi suami yang melakukan pernikahan siri, acapkali membuat Isteri tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan dalam beberapa kasus, suami yang menikah siri tersebut meninggalkan Isteri sahnya untuk tinggal bersama Isteri siri.

Terhadap persoalan ini, ada yang menarik dan perlu diketahui bersama bahwa Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran No. 4 tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (“SEMA 04/2016”). Dalam SEMA 04/2016, Mahkamah Agung menyatakan “perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang suami dengan perempuan lain sedangkan suami tersebut tidak mendapatkan izin istri untuk melangsungkan perkawinan lagi, maka Pasal 279 KUHPidana dapat diterapkan”. Pasal 279 KUHPidana sendiri terbagi ke dalam tiga rumusan delik, yakni (i) melakukan nikah siri padahal mengetahui pernikahan yang ada menjadi penghalang, (ii) melakukan nikah siri padahal mengetahui penikahan pihak lain menjadi penghalang, (iii) melakukan nikah siri dengan menyembunyikan pernikahan yang telah ada. Sanksinya pun berragam antara 5-7 tahun.
Pasal 279 KUHPidana menyatakan:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Pencabutan hak berdasarkan pasal No. 1 – 5 dapat dinyatakan.

Merujuk Pasal 279 KUHPidana, maka nikah siri sebenarnya dilarang menurut hukum Indonesia. Beberapa putusan pengadilan yang menghukum pelaku tindak pidana nikah siri seperti Putusan Pengadilan Negeri Luwuk No. 47/Pid.B/2006/PN.LWK tanggal 13 Nopember 2006, Putusan Pengadilan Negeri Blitar No.497Pid.Sus/2014./PN.Blt tanggal 19 Januari 2015, Putusan Pengadilan Negeri Pandeglang No. 239/Pid.B/2011/PN.Pdg tanggal 15 Maret 2012, meskipun adapula putusan perkara lainnya yang dinyatakan tidak terbukti bersalah. Namun demikian dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) poligami dibolehkan. Ini karena Pasal 3, 4, 5 UU Perkawinan mensyaratkan adanya persetujuan dari istri(-istri) dan/atau izin dari pengadilan untuk melakukan poligami. Jadi, pilih nikah siri atau poligami? (NO).

 


 

Seri Hukum Perbankan — Sistem “BI Checking” Menjadi Wewenang OJK

Bank Indonesia mengalihkan fungsi pengaturan, pengelolaan dan pengawasan Sistem Informasi Perkreditan (SIP) kepada OJK. Pengalihan fungsi ini sudah melalui masa transisi sejak 31 Desember 2013, dengan berjalannya pelaporan Sistem Informasi Debitur (SID) yang dikelola BI dan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang dikelola OJK. Penyelenggaraan kegiatan pelaporan dan permintaan informasi debitur melalui SLIK dapat dimanfaatkan untuk memperlancar proses penyediaan dana, penerapan manajemen risiko, penilaian kualitas debitur, dan meningkatkan disiplin industri keuangan.

Pengaturan mengenai teknis pelaporan dan permintaan informasi debitur melalui system layanan informasi keuangan diatur dalam Peraturan OJK No. 18/POJK.03/2017 dan Surat Edaran OJK No. 50/SEOJK.03/2017. Pihak yang wajib menjadi pelapor adalah bank umum, BPR, BPRS, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya yang memberikan fasilitas penyediaan dana kecuali lembaga keuangan mikro. POJK tersebut mengatur tiga sanksi terhadap lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan nonbank jika tidak menggunakan SLIK. Sanksinya berupa kewajiban membayar, penutupan akses lembaga keuangan ke SLIK, serta sanksi terkait tindakan pengawasan terhadap pelapor. (RA)