Admin Posts

Author: Admin

VOL. XX — FEBRUARI 2019

Seri Hukum Perdata – Jaksa Pengacara Negara Tidak Berwenang Mewakili BUMN Dalam Perkara Perdata

Jaksa Pengacara Negara (“JPN”) sebagai bagian dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia belakangan cukup banyak berperan dalam penanganan perkara perdata, baik mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam suatu sengketa bisnis maupun Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”). Beberapa kasus dimana JPN mewakili Pemerintah RI diantaranya gugatan Hesyam Al-Waraq kepada Pemerintah RI di forum arbitrase melalui Organisasi Konferensi Islam (OKI), gugatan Rafat Ali Rizvi kepada Pemerintah RI di forum arbitrase ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes), gugatan Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd kepada Pemerintah RI di forum arbitrase ICSID, gugatan KemenLH RI terhadap PT Kallista Alam terkait kebakaran hutan, dan sejumlah perkara lainnya. Sedangkan beberapa kasus dimana JPN mewakili BUMN diantaranya perkara PT PLN melawan pelanggannya, perkara Bank BRI melawan PT Mulia Persada Pasific, perkara PT Pelindo II melawan PT Indodaya Abadisakti, dan sejumlah perkara lainnya.

Landasan hukum Kejaksaan RI dapat berperkara bidang perdata di antaranya di atur dalam Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI (“UU 5/1991”) yang menyatakan “Di bidang perdata dan tata usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah”, yang kemudian diubah menjadi Pasal 30 Ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 (“UU 16/2004”) yang menyatakan “Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”, Pasal 117 UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas mengenai pembubaran perseroan, Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengenai permohonan kepailitan oleh Kejaksaan, dan peraturan lainnya. Landasan-landasan hukum tersebut selama ini menjadi alasan JPN berperkara di bidang perdata, salah satunya untuk mewakili BUMN.

Praktiknya pun, peradilan di bawah Mahkamah Agung hingga Mahkamah Agung sendiri beberapa kali menerima kewenangan JPN mewakili BUMN dalam perkara perdata di pengadilan, di antaranya (i) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2820 K/Pdt/1999 tanggal 29 Januari 2001 dalam perkara perdata antara PT. Pann Multi Finance (Persero) melawan PT Elsafa, (ii) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 4777 K/Pdt/1998/MA RI tanggal 20 Oktober 1999 dalam perkara perdata antara Yanto Chandra melawan PT. Kereta Api Indonesia (Persero), (iii) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1709 K/Pdt/1998 tanggal 10 Agustus 2005 antara PT Kereta Api Indonesia (Persero) melawan Stefanus Nicolaus Hendrik, dan (iv) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 731 K/Pdt/2004 tanggal 24 Mei 2006 antara PT. Indodaya Abadisakti melawan PT.Pelabuhan Indonesia II (Pelindo) Persero.

Namun belakangan, MA menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2012 tanggal 12 September 2012 Tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan (“SEMA 07/2012”). Dalam SEMA 07/2012 tersebut, MA menegaskan bahwa JPN tidak dapat mewakili BUMN untuk perkara perdata. MA merujuk pada Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”) yang menyatakan bahwa BUMN merupakan badan hukum Perseroan Terbatas yang maknanya kekayaannya terpisah (telah dipisahkan) dan bukan merupakan bagian dari kekayaan negara.

Hasil Rapat Kamar Perdata Sub Kamar Perdata Umum butir I huruf g halaman 2 SEMA 07/2012 menyatakan:
“Jaksa sebagai Pengacara Negara tidak dapat mewakili BUMN (Pesero), karena BUMN tersebut berstatus badan hukum Privat (vide Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN).”

Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN:
“Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.”

Dengan demikian, merujuk SEMA tersebut, JPN tidak lagi berwenang mewakili BUMN dalam menangani perkara perdata yang dihadapi oleh BUMN. Larangan tersebut tentunya mengikat juga bagi anak usaha BUMN yang notabene-nya merupakan badan hukum privat. Namun demikian, untuk sengketa perdata yang dihadapi oleh Pemerintah RI, JPN tetap memiliki kewenangan mewakili Pemerintah RI. (WG)

 


 

Seri Hukum Acara Pidana dan Perdata – Paralegal Tidak Dapat Menjalankan Profesi sebagai Advokat

Dalam Newsletter edisi Maret 2018 telah dibahas mengenai Paralegal sebagai profesi baru yang menyaingi profesi Advokat. Paralegal dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 1 Tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum (“Permenkumham 1/2018”) yang berlaku efektif pada tanggal 26 Januari 2018. Permenkumham 1/2018 tersebut merupakan turunan dari UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Berbeda dengan Advokat yang bersifat independen, Paralegal dibentuk dibawah Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), minimal berusia 18 tahun, tidak harus lulusan Sarjana Hukum, cukup mengikuti pelatihan dan mendapat Sertifikat, serta tidak perlu disumpah oleh Pengadilan Tinggi. Setelah melalui proses tersebut selanjutnya Paralegal dapat beracara di dalam maupun diluar Pengadilan. Perbedaan perlakuan ini yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan Advokat dan juga masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum mengenai kelayakan Paralegal dalam penanganan perkara hukum pidana, perdata, TUN, maupun perkara lainnya.

Oleh karenanya, tidak lama setelah penerbitannya, sejumlah Advokat mengajukan judicial review atas Permenkumham 1/2018 tersebut terhadap UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (“UU Advokat”) ke Mahkamah Agung (MA). Ketentuan Permenkumham 1/2018 yang diuji meliputi Pasal 4 (syarat Paralegal), Pasal 7 (lembaga pelatihan Paralegal), Pasal 11 dan Pasal 12 (Paralegal dapat menjalankan profesi Advokat dalam lingkup litigasi dan non litigasi, baik pidana, perdata hingga perkara Tata Usaha Negara/TUN).

Atas permohonan judicial review tersebut, MA melalui putusannya Nomor 22 P/HUM/2018 tanggal 31 Mei 2018 telah menjatuhkan putusannya yang menyatakan Pasal 11 dan 12 Permenkumham 1/2018 bertentangan dengan UU Advokat dan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”). MA menilai ketentuan normatif yang dapat beracara di Pengadilan diatur dalam Pasal 4 jo. Pasal 31 UU Advokat yakni hanya Advokat yang telah bersumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi, sedangkan Paralegal dalam Permenkumham 1/2018 tidak disumpah. Artinya Pasal 11 dan 12 Permenkumham 1/2018 terbukti bertentangan dengan UU Advokat. Oleh karena materi muatan Pasal 11 dan 12 Permenkumham 1/2018 bertentangan dengan UU Advokat, maka Pasal 11 dan 12 Permenkumham 1/2018 juga bertentangan dengan asas lex superior derogat lex inferior (ketentuan yang lebih rendah bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi) sebagaimana Pasal 5 dan 6 UU 12/2011. Namun untuk Pasal 4 dan Pasal 7 Permenkumham 1/2018, MA menilai dua ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan UU Advokat karena fungsi Paralegal adalah membantu tugas-tugas legal dari Advokat, sehingga syarat-syarat untuk menjadi Paralegal dan penyelenggara pelatihannya berbeda dengan Advokat, dan karenanya dianggap tidak bertentangan dengan UU Advokat. (WG)

VOL. XIX — JANUARI 2019

Seri Hukum Pidana – Pencegahan Keluar Negeri Hanya Boleh Diperpanjang Satu Kali

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-IX/2011 (“Putusan MK 64/2011”) mengubah aturan mengenai perpanjangan terhadap pencegahan seseorang untuk bepergian ke luar negeri yang pada awalnya perpanjangan dapat dilakukan berkali-kali, namun setelah adanya Putusan MK 64/2011 perpanjangan hanya dapat dilakukan sebanyak 1 (satu) kali. Sebelumnya, berdasarkan Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“UU Keimigrasian”), pencegahan terhadap seseorang untuk bepergian ke luar negeri berlaku paling lama 6 (enam) bulan, dan dapat berkali-kali diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 6 bulan. Hal ini menyebabkan seseorang dapat dikenakan pencegahan untuk waktu yang tidak tertentu, selagi masih diperpanjang oleh yang berwenang, maka pencegahan akan terus dilakukan. Akan tetapi, setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-IX/2011, perpanjangan atas pencegahan seseorang bepergian ke luar negeri hanya dapat dilakukan sebanyak 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 6 (enam bulan).

Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian:
Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.

Adalah Prof. Yusril Ihza Mahendra yang mengajukan permohonan uji materiil Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian. Dalam permohonannya, Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian khususnya frasa “…dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan” dianggap dapat mengakibatkan perpanjangan pencegahan seseorang untuk bepergian keluar negeri berlaku tanpa batasan waktu dan dapat dilakukan terus menerus, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28E UUD 1945. Kemudian, atas permohonan uji materiil tersebut MK menilai bahwa frasa“…dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan” memberikan penafsiran bahwa perpanjangan bisa dilakukan untuk waktu yang tidak tertentu. Hal itu menurut pertimbangan MK dapat menimbulkan kesewenang-wenangan pejabat yang berwenang dan mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum, khususnya bagi tersangka yang sedang menghadapi proses penyidikan suatu tindak pidana.

Dengan demikian, sesuai Putusan MK tersebut, pencegahan terhadap seseorang untuk bepergian ke luar negeri hanya dapat dilakukan paling lama 6 (bulan) dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 6 (bulan) atau apabila diakumulasikan menjadi paling lama 1 (satu) tahun. Setelah jangka waktu dan perpanjangannya habis, maka pencegahan menjadi hapus dan seseorang yang terkena pencegahan tersebut dapat bepergian ke luar negeri. Apabila jangka waktu pencegahan telah berakhir dan tidak dapat dilakukan perpanjangan lagi, maka pihak yang dicekal dapat mengajukan keberatan pada Pejabat yang mengeluarkan keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) UU Keimigrasian yang menyatakan “Setiap orang yang dikenai Pencegahan dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan Pencegahan”. (AST)

 


 

Seri Hukum HAKI – Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual Wajib Dicatatkan di Kemenkumham

Perjanjian Lisensi atas hak kekayaan intelektual kini wajib dicatatkan pada Kementerian Hukum dan HAM (“Kemenkumham”). Kewajiban tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2018 tanggal 26 Juli 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual (“PP 36/2028”). PP 36/2018 tidak mengatur definisi dari Perjanjian Lisensi, namun dari Pasal 3 PP 36/2018 dapat dimaknai bahwa Perjanjian Lisensi adalah suatu perjanjian antara pemegang hak kekayaan intelektual (Pemberi Lisensi) kepada pihak lain (Penerima Lisensi) untuk melaksanakan hak eksklusif (hak ekonomi) yang dimilikinya. Pencatatan Perjanjian Lisensi sendiri terletak pada objek kekayaan intelektual, yaitu: Hak cipta dan hak terkait, Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, dan Varietas Tanaman, yang masa perlindungannya masih berlaku atau belum dihapus. Pihak yang dapat memohonkan pencatatan Perjanjian Lisensi adalah Pemberi Lisensi, Penerima Lisensi ataupun Kuasanya.

Sesuai Penjelasan PP 36/2018, tujuan pencatatan Perjanjian Lisensi adalah untuk memudahkan pembuktian bila dikemudian hari terjadi perselisihan, dan untuk melindungi pihak ketiga bila terkait dengan Perjanjian Lisensi. Oleh karenanya, pihak yang membuat Perjanjian Lisensi harus memohonkan pencatatannya ke Kemenkumham, khususnya Dirjen HaKI. Permohonan pencatatan Perjanjian Lisensi itu sendiri wajib dibuat dalam bentuk tertulis dan paling sedikit harus memuat syarat-syarat sebagaimana Pasal 7 ayat (2) PP 36/2028 yaitu: (a) Tanggal, bulan, tahun, dan tempat perjanjian lisensi ditandatangani; (b) Nama dan alamat pemberi lisensi dan penerima lisensi; (c) Objek perjanjian lisensi; (d) Ketentuan mengenai lisensi bersifat ekslusif atau noneksklusif, termasuk sublisensi; (e) Jangka waktu perjanjian; (f) Wilayah berlakunya lisensi; dan (g) Pihak yang melakukan pembayaran biaya tahunan untuk paten. Setelah permohonan pencatatan diajukan, Kemenkumham akan melakukan pemeriksaan kelengkapan dan kesesuaian dokumen dalam waktu 5 (lima) hari. Sejak pemeriksaan dinyatakan lengkap dan sesuai, Kemenkumham mencatatkan Perjanjian Lisensi dalam Daftar Umum Perjanjian Lisensi sesuai objek hak kekayaan intelektualnya, kemudian pencatatan tersebut diumumkan dalam berita resmi sesuai objek hak kekayaan intelektualnya. Apabila perjanjian lisensi tidak dicatatkan dan tidak diumumkan pada Kemenkumham, maka sebagaimana Pasal 15 ayat (4) PP 36/2028, Perjanjian Lisensi tidak memiliki akibat hukum bagi pihak ketiga.

Pada prinsipnya, dalam Perjanjian Lisensi tersebut melekat syarat-syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Dan, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, Perjanjian Lisensi jelas hanya mengikat bagi para pembuatnya yakni Pemberi Lisensi dan Penerima Lisensi. Namun, agar Perjanjian Lisensi tersebut dapat mengikat pihak ketiga, hukum mensyaratkan adanya kewajiban pencatatan di instansi yang berwenang sebagaimana diperkenankan menurut Pasal 1317 KUHPerdata. (WG/AST)

 


 

Seri Hukum Pidana – Penghentian Penyelidikan Sebagai Objek Praperadilan

Objek Praperadilan kembali memperoleh perluasan. Selain yang telah ditetapkan menurut Pasal 77 KUHAP, objek lainnya dari Praperadilan meliputi juga penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). Dan saat ini, objek Praperadilan kembali bertambah dengan masuknya “penghentian penyelidikan” sebagai objek Praperadilan sebagaimana amar Putusan Pengadilan Negeri Ende, Flores NTT Nomor 02/Pid.Prap/2018/PN.End yang menyebutkan “Menyatakan tindakan penghentian penyelidikan oleh Termohon/Penyelidik Polres Ende terkait dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam bentuk Gratifikasi merupakan pembiaran terhadap suatu tindak pidana, oleh karena itu penghentian penyelidikan tersebut adalah tidak beralasan menurut hukum serta Memerintahkan kepada Termohon/Penyelidik Polres Ende untuk melanjutkan proses hukum terhadap perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang dicatat dalam Laporan Informasi nomor: LI / 06 / X / 2015 /Reskrim tanggal 5 Oktober 2015 dan Surat Perintah Penyelidikan nomor:Sprin-lidik/09/X/2015/Reskrim tanggal 16 Oktober 2015 tersebut”. Dalam pertimbangan hukumnya dinyatakan bahwa Penyelidikan merupakan bagian tak terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain. Dengan demikian, merujuk putusan tersebut maka “penghentian penyelidikan” juga merupakan objek Praperadilan. (WG/AST)

VOL. XVIII — DESEMBER 2018

Seri Hukum Perdata – Prosedur Pengaduan Konsumen di Sektor Perbankan dan Sektor Jasa Keuangan Lainnya

Pada tanggal 10 September 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan OJK (“POJK”) Nomor 18/POJK.07/2018 Tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan yang mulai berlaku 6 bulan setelah diundangkan atau tanggal 10 Maret 2019 (“POJK 18/2018”). POJK 18/2018 tersebut mencabut Peraturan Bank Indonesia (“PBI”) Nomor 10/10/PBI/2008 jo. Nomor 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, Pasal 34-38 POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan, dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/13/DPNP jo. Nomor 7/24/DPNP perihal Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

Pelaku Usaha yang dimaksud dalam POJK 18/2018 tidak hanya lembaga perbankan, namun juga Perantara Pedagang Efek, Manajer Investasi, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, dan Penyelenggaran Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, baik yang bersifat konvensional maupun syariah. Sedangkan Konsumen yang dimaksud meliputi pihak yang menempatkan dananya dan/atau yang memanfaatkan layanan yang disediakan pelaku usaha. Dalam POJK 18/2018, pelaku usaha wajib memiliki prosedur layanan pengaduan secara tertulis dan mencantumkannya dalam perjanjian ataupun dokumen transaksi keuangan, serta mempublikasinya dalam laporan tahunan, website atau media lain yang dikelolanya. Prosedur penanganan pengaduan dilakukan secara gratis dan dapat diajukan oleh Konsumen atau Kuasanya, dengan melampirkan identitas konsumen, surat kuasa, jenis dan tanggal transaksi keuangan dan permasalahan yang diadukan, baik lisan maupun tertulis. Bila ada dokumen yang terkait langsung dengan permasalahan, pelaku usaha dapat menetapkan dokumen tersebut sebagai dokumen yang wajib dilengkapi. Pelaku usaha harus memberikan kesempatan kepada konsumen untuk melengkapi dokumen tersebut dalam 20 hari kerja dan dapat diperpanjang maksimal 20 hari kerja. Ketentuan ini nampaknya merujuk pada kasus Allianz Life vs nasabahnya (Ifranius Algadri) dimana Allianz Life dituduh mempersulit klaim nasabah karena mensyaratkan sejumlah dokumen tambahan untuk pencairan klaim. Namun POJK 18/2018 telah mengatur konsekuensi lebih lanjut bila dokumen yang disyaratkan pelaku usaha tidak dipenuhi oleh nasabah, maka pelaku usaha dapat menolak pengaduan nasabah tersebut.

Untuk pengaduan secara lisan, pelaku usaha wajib menyelesaikannya dalam 5 (lima) hari kerja sejak pengaduan diterima. Untuk pengaduan secara tertulis, penyelesaiannya maksimal 20 (dua puluh) hari kerja sejak dokumen yang terkait langsung dengan pengaduan diterima secara lengkap dan dapat diperpanjang maksimal 20 hari kerja. Untuk penyelesaian pengaduan diluar jangka waktu tersebut, pelaku usaha wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada konsumen. Pelaku usaha dapat menolak pengaduan konsumen bila (a) konsumen tidak melengkapi dokumen yang disyaratkan sesuai jangka waktu yang ditetapkan, (b) pengaduan telah diselesaikan, (c) pengaduan tidak terkait kerugian atau potensi kerugian materil, wajar dan langsung sebagaimana perjanjian atau dokumen transaksi keuangan, (d) pengaduan tidak terkait transaksi keuangan yang dikeluarkan pelaku usaha tersebut. Pelaku usaha wajib memberikan tanggapan atas pengaduan konsumen, baik lisan maupun tertulis. Tanggapan yang diberikan dapat berupa penjelasan permasalahan (bila tidak ada kesalahan dari pelaku usaha) atau penawaran penyelesaian (bila ada kesalahan dari pelaku usaha yang menimbulkan kerugian atau potensi kerugian bagi konsumen). Menurut Surat Edaran OJK Nomor 17/SEOJK.07/2018 tanggal 06 Desember 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan yang baru akan berlaku pada tanggal 10 Maret 2019 (“SE OJK 17/2018”), penawaran penyelesaian yang dimaksud dapat berupa permintaan maaf, penawaran ganti rugi (remedy) atau perbaikan produk/layanan. Untuk penawaran penyelesaian berupa ganti rugi, harus dipenuhi syarat bahwa konsumen telah memenuhi kewajibannya dan kerugian atau potensi kerugian harus bersifat materiil, wajar dan secara langsung pada konsumen.

Bila konsumen menolak tanggapan dari pelaku usaha, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui pengadilan atau diluar pengadilan, bergantung pada forum penyelesaian sengketa yang disepakati dalam perjanjian atau dokumen transaksi keuangan antara pelaku usaha dan konsumen. Untuk penyelesaian diluar pengadilan, dilakukan di Lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang terdaftar dan ditetapkan oleh OJK. POJK 18/2018 mewajibkan pelaku usaha memiliki fungsi atau unit Layanan Pengaduan, di kantor pusat maupun cabang guna menangani dan menyelesaikan pengaduan konsumen yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi. Selain itu, pelaku usaha juga wajib memiliki mekanisme pelaporan internal Layanan Pengaduan. Laporan Layanan Pengaduan wajib disampaikan kepada OJK paling lambat tanggal 10 per triwulan melalui sistem pelaporan elektronik OJK. Keterlambatan pelaku usaha menyampaikan laporan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 100 ribu perhari maksimal Rp. 10 juta. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat diancam dengan sanksi administratif lainnya berupa teguran tertulis atau penurunan dalam penilaian tingkat kesehatan pelaku usaha. (WG)

 


 

Seri Hukum Keluarga – Batas Usia Minimal Perkawinan

Menurut UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), khususnya Pasal 1 angka (1), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Ketentuan ini menegaskan kembali Pasal 47 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang menyatakan anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah menikah ada di bawah kekuasaan orangtua. Artinya, usia anak menurut UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan adalah 18 tahun. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi batasan atau ukuran dewasa seseorang, termasuk batasan usia seseorang dianggap cakap hukum dan mampu bertanggung jawab. Meski demikian, usia perkawinan di dalam UU Perkawinan ternyata diatur berbeda, atau bukan 18 tahun. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menetapkan bahwa batas usia perkawinan bagi laki-laki adalah 19 tahun, dan perempuan 16 tahun. Perbedaan penetapan usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan tersebut dipandang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) karena merupakan tindakan diskriminatif atas dasar perbedaan jenis kelamin yang dapat membatasi hak perempuan atas pendidikan yang setara dengan laki-laki (minimal 12 tahun) dan hak perempuan untuk mengenyam usia anak lebih lama daripada laki-laki.

Atas permasalahan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusannya Nomor 22/PUU-XV/2017 Tanggal 13 Desember 2018 menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sepanjang frasa “usia 16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945. MK melihat ada ketidaksinkronan antara batas minimal usia perkawinan anak perempuan dalam UU Perkawinan dengan usia anak dalam UU Perlindungan Anak yang berdampak pada kerugian konstitusional berupa hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta hak atas perlindungan dari diskriminasi sebagaimana Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Namun demikian, karena penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan umum (legal policy) pembentuk undang-undang, maka MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tersebut tetap berlaku hingga diubah oleh pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun. Namun bila hingga tenggang waktu tersebut belum juga diubah oleh pembentuk undang-undang, maka batas minimal usia perkawinan menurut Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan diharmonisasikan dengan usia anak dalam UU Perlindungan Anak dan diberlakukan sama bagi laki-laki dan perempuan, yakni 18 tahun. (WG)

VOL. XVII — NOVEMBER 2018

Seri Hukum Perdata – Tanggung Jawab Perusahaan/Maskapai Penerbangan

Dunia penerbangan Indonesia kembali berduka setelah Pesawat Lion Air JT 610 kembali mengalami kecelakaan di wilayah udara Karawang yang mengakibatkan jatuh di perairan Tanjung Karawang pada tanggal 29 Oktober 2018. Lantas bagaimana tanggung jawab perusahaan penerbangan tersebut terhadap penumpang yang meninggal dunia? Berdasarkan Pasal 141 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”), “Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara”. Sedangkan yang dimaksud dengan Pengangkut menurut Pasal 1 angka 26 UU Penerbangan adalah “badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga”. Dengan demikian, merujuk Pasal 141 ayat (1) dan ayat (2), UU Penerbangan menghendaki maskapai penerbangan bertanggung jawab secara mutlak bila terjadi kecelakaan di dalam pesawat dan/atau naik/turun pesawat. Tanggung jawab yang dimaksud adalah atas mengganti kerugian yang timbul/terjadi, baik kerugian yang telah ditetapkan maupun ganti kerugian tambahan (vide Pasal 141 ayat (3) UU Penerbangan).

Untuk ganti kerugian yang ditetapkan, diatur dalam Pasal 165 ayat (1) UU Penerbangan yang menyatakan, “Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri”. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (“PM 77/2011”), khususnya Pasal 3 huruf (a), penumpang yang meninggal dunia berhak mendapat ganti rugi sebesar Rp.1.250.000.000,00, cacat tetap sebesar Rp.1.250.000.000,00, dan luka-luka sebesar Rp. 200 juta. Jumlah ganti rugi tersebut diluar ganti rugi yang diberikan oleh lembaga asuransi yang ditetapkan oleh pemerintah (vide Pasal 165 ayat (1) UU Penerbangan). Meski demikian, perusahaan penerbangan dan penumpang dapat menetapkan jumlah ganti rugi yang lebih tinggi daripada yang ditentukan dalam Pasal 165 ayat (1) UU Penerbangan (vide Pasal 166 UU Penerbangan). Sedangkan untuk ganti rugi kehilangan bagasi atau isi bagasi, Pasal 5 ayat (1) PM 77/2011 menetapkan ganti rugi sebesar Rp 200 ribu perkilogram dan paling banyak Rp 4 juta.

Untuk ganti rugi tambahan, Pasal 141 ayat (3) UU Penerbangan menyatakan, “Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan”. Artinya, ahli waris atau korban harus terlebih dahulu mengajukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum ke Pengadilan dan menetapkan ganti kerugian tambahan yang dituntutnya. Selanjutnya Putusan Pengadilan akan menjadi dasar bagi maskapai penerbangan untuk membayar ganti rugi tambahan kepada ahli waris penumpang/korban.

Dengan demikian, tanggung jawab maskapai penerbangan atas ganti kerugian yang timbul dari kecelakaan pesawat tidak hanya sebatas yang ditentukan dalam PM 77/2011. UU Penerbangan juga memberikan keleluasaan bagi ahli waris penumpang/korban untuk menuntut ganti rugi tambahan. Ganti rugi tambahan tersebut dapat berupa ganti rugi biaya perjalanan untuk mengurus ganti kerugian, ganti rugi atas kehilangan penghasilan bulanan ataupun komisi, atau ganti rugi lainnya yang harus dapat dibuktikan dalam pembuktian di persidangan salah satunya sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 160/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst tanggal 16 Mei 2007. (WG)

 


 

Seri Hukum Konstitusi – Surat Keputusan Bersama (SKB) Sebagai Objek Uji Materiil (Judicial Review)

Judicial Review atau uji materiil dari suatu peraturan perundang-undangan merupakan proses pengujian suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang diajukan oleh orang/badan hukum yang memiliki hak dan kepentingan hukum (legal standing) dan diajukan ke lembaga peradilan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) yang meliputi UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/PERPPU, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selain peraturan-peraturan tersebut, masih ada peraturan dalam bentuk lain seperti Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan OJK, dan lainnya. Bentuk peraturan lain tersebut tidak termasuk dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, namun bentuk peraturan lain tersebut diakomodir dan diakui keberadaannya dalam Pasal 8 UU 12/2011 sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dalam hal suatu perundang-undangan saling bertentangan, orang/badan hukum yang berkepentingan berhak untuk mengajukan uji materiil kepada lembaga peradilan yang berwenang. Dalam hal Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945, menurut Pasal 9 ayat (1) UU 12/2011 pengujiannya dilakukan di Mahkamah Konstitusi. Sedangkan untuk peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, menurut Pasal 9 ayat (2) UU 12/2011 pengujiannya dilakukan di Mahkamah Agung. Lantas, bagaimana dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang seringkali dibuat oleh antar instansi/lembaga negara? Baik Pasal 7 ayat (1) maupun Pasal 8 UU 12/2011 tidak menyebut SKB sebagai peraturan perundang-undangan. Padahal SKB acapkali diterbitkan seperti untuk penetapan cuti/libur bersama, optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, penegakan hukum terhadap PNS yang melakukan tindak pidana, penguatan kebijakan tentang desa, kode etik dan pedoman perilaku Hakim, pedoman pembangunan perumahan dan pemukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang, dan bentuk SKB lainnya.

Kekosongan hukum ini menimbulkan celah apakah SKB merupakan bentuk peraturan perundang-undangan menurut UU 12/2011 dan apakah dapat diuji materiil ke Mahkamah Agung. Sebagian ahli hukum memandang SKB bukan merupakan dan tidak termasuk peraturan perundang-undangan menurut UU 12/2011, sebagian ahli hukum lainnya memandang SKB sebagai peraturan kebijakan yang dapat dilakukan uji materiil di Mahkamah Agung. Namun, pasca Putusan Mahkamah Agung Nomor 36 P/HUM/2011 tanggal 09 Februari 2012 tentang uji materiil terhadap Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 08 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diterima dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung, SKB kini menjadi objek uji materiil di Mahkamah Agung. Dalam pertimbangan putusan tersebut, Mahkamah Agung menilai SKB secara materiil termasuk kategori peraturan menurut Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 karena: (a) dibentuk atas perintah perundang-undangan yang lebih tinggi, (b) bentuk peraturan dalam Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011 tidak bersifat limitatif atau terbuka sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi dan dibuat oleh lembaga yang berwenang sehingga SKB memenuhi bentuk peraturan tersebut meski penamaannya berupa SKB, dan (c) Mahkamah Agung tidak melanggar asas Nemo Judex in Rex Sua (tidak seorangpun dapat menjadi Hakim atau mengadili hal yang menyangkut dirinya sendiri) karena ada unsur Komisi Yudisial yang sama-sama berperan membentuk SKB tersebut. Dengan demikian, pasca putusan tersebut dapat dimaknai bahwa SKB dapat menjadi objek uji materiil di Mahkamah Agung. (WG)

VOL. XVI — OKTOBER 2018

Seri Hukum Tanah – Hak Pemilik Tanah atas Akses Jalan

Belum lama ini terdengar berita tentang Eko Purnomo warga Kampung Sukagalih, Desa Pasir Jati, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung, Jawa Barat yang tidak mendapatkan akses jalan keluar masuk rumah miliknya karena dikepung oleh bangunan-bangunan di sekeliling rumahnya. Kejadian yang menimpa Eko dapat menimpa siapapun yang tinggal di pemukiman padat penduduk. Lantas, bagaimana hukum mengatur hak seseorang yang tidak memiliki akses jalan ke rumahnya?

Menurut hukum, seseorang dapat menuntut haknya kepada tetangga pemilik tanah untuk dibukakan akses jalan menuju ke rumahnya dengan memberikan ganti rugi yang seimbang. Hak tersebut diatur dalam Pasal 667 KUHPerdata yang menyatakan“Pemilik sebidang tanah atau pekarangan, yang demikian terjepit letaknya antara tanah-tanah orang lain, sehingga ia tidak mempunyai pintu keluar ke jalan atau ke parit umum, berhak menuntut kepada pemilik-pemilik pekarangan tetangganya, supaya memberi jalan kepadanya melalui pemilik tetangga itu, dengan mengganti rugi yang seimbang. Merujuk ketentuan tersebut, maka demi hukum tetangga pemilik tanah wajib memberikan sebidang tanahnya untuk dijadikan akses jalan bagi tetangganya yang tidak memiliki akses jalan.

Apakah seluruh tetangga pemilik tanah wajib memberikan akses jalan? Merujuk Pasal 668 KUHPerdata, kewajiban memberikan akses jalan diutamakan kepada tetangga pemilik tanah yang terdekat dengan jalan atau parit umum. Pasal 668 KUHPerdata menyatakan “Jalan keluar itu harus diadakan pada sisi pekarangan atau tanah yang terdekat dengan jalan atau parit umum, namun dalam suatu jurusan yang demikian sehingga menimbulkan kerugian yang sekecil-kecilnya bagi pemilik tanah yang dilalui”. Artinya, tetangga pemilik tanah yang terdekat dengan jalan lah yang diutamakan untuk memberikan akses jalan kepada tetangga yang tidak memiliki akses jalan ke rumahnya. Pemberian akses jalan tersebut, selain dengan ganti rugi yang wajar, juga hanya boleh menimbulkan kerugian seminimal mungkin bagi tetangga pemilik tanah yang memberikan akses jalan tersebut. Dalam hal tetangga pemilik tanah menolak memberikan akses jalan, seseorang yang tidak memiliki akses jalan ke rumahnya dapat mengajukan tuntutan terhadap tetangga pemilik tanah tersebut ke Pengadilan Negeri atas dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana Pasal 1365 jo. Pasal 667 dan Pasal 668 KUHPerdata, karena dianggap “melanggar hak subjektif orang lain”. Hal ini sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 58/Pdt.G/2017/PN.Pwt tanggal 24 Mei 2018 yang memberikan hak kepada pemilik tanah untuk meminta diberikan akses jalan kepada tetangga pemilik rumah yang terdekat dengan jalan dengan memberikan ganti rugi yang wajar. (FS/WG)

 


 

Seri Hukum Pidana – Hadiah dan Penghargaan Bagi Pelapor Tindak Pidana Korupsi

Peran serta masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana korupsi semakin mendapat perhatian serius dari Pemerintah, salah satunya melalui Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“PP 43/2018”). Berdasarkan PP 43/2018 tersebut peran serta masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana korupsi diwujudkan dalam bentuk hak untuk:

1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
2. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
4. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada Penegak Hukum;
5. Memperoleh perlindungan hukum.

Berdasarkan Pasal 13 PP 43/2018, masyarakat yang berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi diberikan penghargaan. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang secara aktif, konsisten dan berkelanjutan bergerak di bidang pencagahan tindak pidana korupsi atau Pelapor tindak pidana korupsi. Penghargaan yang diberikan dapat berupa piagam dan/atau premi. Untuk tahap pencegahan, masyarakat hanya berhak mendapat piagam, sedangkan untuk tahap pemberantasan dan pengungkapan masyarakat berhak mendapat piagam dan/atau premi. Besaran premi yang diberikan adalah 2/1000 (dua permil) dari jumlah kerugian negara yang berhasil dikembalikan atau maksimum Rp. 200 juta. Untuk tindak pidana korupsi berupa suap, premi yang diberikan sebesar 2/1000 (dua permil) dari nilai uang suap dan/atau uang dari hasil lelang barang rampasan atau maksimum sebesar Rp. 10 juta.

Pemberian penghargaan dilaksanakan dalam waktu paling lambat 7 hari kerja sejak tanggal berakhirnya penilaian berdasarkan keputusan pimpinan instansi Penegak Hukum yaitu KPK, Polri dan Kejaksaan Agung. Pemberian penghargaan terhadap tindak pidana korupsi dalam bentuk suap akan dilaksanakan setelah uang suap dan/atau hasil rampasan disetor ke kas negara. Terhadap penghargaan dalam bentuk premi, belum termasuk potongan pajak penghasilan (PPh). Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. Per-11/PJ/2015 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan, wajib pajak yang menerima hadiah atau penghargaan dikenakan PPh sebesar 15% sampai 35% tergantung subjek wajib pajaknya, apakah orang pribadi, wajib pajak luar negeri atau Bentuk Usaha Tetap. (AST/WG)

 


 

Seri Hukum Acara Perdata – Perkara/Sengketa yang Dikecualikan dari Prosedur Mediasi di Pengadilan

Pada tanggal 03 Februari 2016, Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang menggantikan PERMA No.1 Tahun 2008. Hakim, Mediator, Para Pihak yang berperkara dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti proses mediasi dengan ancaman Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (bagi Penggugat yang tidak beritikad baik) atau Gugatan dikabulkan (bagi Tergugat yang tidak beritikad baik). Mediasi yang dimaksud meliputi lingkup peradilan umum dan peradilan agama, kecuali sengketa yang diselesaikan menurut prosedur Pengadilan Niaga ataupun Pengadilan Hubungan Industrial, Keberatan atas Putusan KPPU, Keberatan atas Putusan BPSK, Keberatan atas Putusan Komisi Informasi, permohonan pembatalan Putusan Arbitrase, perselisihan partai politik, Gugatan sederhana, sengketa yang pemeriksaannya ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya di dalam perundang-undangan, sengketa tanpa kehadiran salah satu pihak yang berperkara, gugatan rekonpensi ataupun intervensi, sengketa tentang pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan, dan sengketa yang sudah dilakukan mediasi oleh Mediator bersertifikat diluar Pengadilan. Jangka waktu mediasi ditentukan maksimal 30 hari kalender, dan dapat diperpanjang maksimal 30 hari.

VOL. XV — SEPTEMBER 2018

Seri Hukum Konstitusi – Syarat Legal Standing Hak Uji Materil di Mahkamah Agung

Setiap warga negara yang haknya dirugikan oleh suatu perundang-undangan dibawah Undang-Undang berhak mengajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”, yang kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 31 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, dan teknis pelaksanaannya diatur dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (PERMA 01/2011). Berdasarkan Pasal 1 butir (4) PERMA 01/2011, Pemohon Uji Materil (Pemohon Keberatan) adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari Undang-Undang. Sekilas, legal standing hak uji materiil cukup hanya kelompok masyarakat atau perorangan yang keberatan atas berlakunya perundang-undangan dibawah Undang-Undang. Namun, lebih dari itu, Mahkamah Agung dalam praktiknya telah menetapkan legal standing Pemohon Hak Uji Materiil setidaknya harus memenuhi 5 syarat, yakni :

a. Adanya hak pemohon yang diberikan oleh suatu Peraturan Perundang-undangan;
b. hak tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.

Kelima syarat tersebut sebagaimana pertimbangan Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 54 P/HUM/2013 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 62 P/HUM/2013. Kelima syarat tersebut cukup konsisten diterapkan oleh Mahkamah Agung, salah satunya dalam Putusan Nomor 66 P/HUM/2017 Tanggal 13 Desember 2017 dalam pengujian Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Menurut Mahkamah Agung, Para Pemohon, yang notabebe adalah para pengemudi ojek online, tidak dapat membuktikan kerugian yang dialaminya dengan berlakunya peraturan perundang-undangan yang menjadi objek sengketa tersebut. (WG)

 


 

Seri Hukum Lalu Lintas – Perusahaan Aplikasi di Bidang Transportasi Darat Dilarang Menetapkan Tarif dan Memberikan Promosi di Bawah Tarif Batas Bawah yang Telah Ditetapkan

Transportasi darat berbasis aplikasi (atau sering disebut ojek online) dengan tarif murah telah menjadi magnet kuat bagi pengguna transportasi untuk beralih dari kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi menjadi pengguna transportasi online seperti Gojek, Grab maupun Uber. Tarif yang diberikan tidak hanya murah, bahkan sering di bawah tarif batas bawah yang telah ditentukan. Perusahaan aplikasi bahkan sering memberikan tarif promo bahkan gratis bagi penggunanya sebagai bentuk perang tarif antar perusahaan aplikasi transportasi darat. Tarif murah tersebut belakangan menimbulkan polemik karena ditentukan sepihak oleh perusahaan aplikasi dan merugikan cenderung pendapatan pengemudinya. Kondisi ini mendorong Menteri Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (Permenhub 26/2017). Berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf (a) Permenhub 26/2017, perusahaan aplikasi dilarang menetapkan tarif dan memberikan promosi tarif di bawah tarif batas bawah. Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 37 P/HUM/2017 Tanggal 20 Juni 2017, ketentuan tersebut dicabut bersama dengan ketentuan lainnya di dalam Permenhub 26/2017 karena dianggap bertentangan dengan UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, dan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Setelah dicabut MA, pada tanggal 24 Oktober 2017, Menteri Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (Permenhub 108/2017) yang menghidupkan kembali ketentuan mengenai perusahaan aplikasi dilarang menetapkan tarif dan memberikan promosi tarif di bawah tarif batas bawah. Dalam Pasal 65 huruf (d) dan (e) Permenhub 108/2017 dinyatakan bahwa perusahaan aplikasi dilarang bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum yang melakukan kegiatan menetapkan tarif dan memberikan promosi tarif di bawah tarif batas bawah yang telah ditetapkan. Namun, Permenhub 108/2017 kemudian diajukan uji materiil ke Mahkamah Agung. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 15 P/HUM/2018 Tanggal 31 Mei 2018, sebagian pasal dalam Permenhub 108/2017 dicabut oleh Mahkamah Agung karena dianggap bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung sebelumnya dan UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Khusus mengenai Pasal 65 huruf (d) dan (e) Permenhub 108/2017, Mahkamah Agung tidak mencabut ketentuan tersebut karena dipandang tidak bertentangan dengan Pasal 28 Permenhub 108/2017 mengenai penentuan tarif batas atas dan batas bawah yang hanya boleh ditetapkan oleh seluruh pemangku kepentingan, bukan sepihak oleh perusahaan aplikasi.

Dengan demikian, setiap bentuk penetapan tarif ataupun promosi tarif dibawah tarif batas bawah oleh perusahaan aplikasi adalah dilarang. Pelanggaran atas ketentuan ini diancam dengan sanksi administrasi bagi perusahaan aplikasi oleh Kemenkominfo. Berdasarkan Pasal 78 Permenhub 108/2017, sanksi bagi perusahaan aplikasi dijatuhkan oleh Kemenkominfo. Namun hingga kini belum ada Peraturan Kemenkominfo yang mengatur mengenai sanksi tersebut kecuali ketentuan mengenai pemblokiran situs internet bermuatan negatif yang diatur dalam Permenkominfo Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif yang mana pemblokiran hanya dapat dilakukan terhadap situs internet yang bermuatan pornografi dan kegiatan ilegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (WG)

 


 

Seri Hukum Acara Perdata – Jangka Waktu Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan Negeri dan Pengadilian Tinggi

Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan. Menurut SEMA tersebut, penyelesaian perkara di Pengadilan Negeri ditentukan maksimal 5 (lima) bulan, Pengadilan Tinggi maksimal 3 (tiga) bulan. Untuk perkara tertentu, dimungkinkan lebih dari waktu tersebut dengan kewajiban membuat laporan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi dengan tembusan Ketua Mahkamah Agung.

VOL. XIV — AGUSTUS 2018

Seri Hukum Perkawinan – Perbedaan Hak yang Dapat Diperoleh Istri Bila Mengajukan Gugatan Cerai dan Dicerai Talak oleh Suami Menurut Kompilasi Hukum Islam

Setiap orang yang sudah menikah menginginkan rumah tangganya langgeng sampai maut memisahkan. Namun demikian, terkadang perceraian tidak dapat dihindari. Ketika perceraian merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk menyelesaikan konflik dalam rumah tangga, ada beberapa hal yang harus dijadikan pertimbangan dalam mengajukan gugatan perceraian, terutama apabila seorang istri yang akan mengajukan gugatan perceraian.

Di dalam Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa “putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”. Pengertian talak menurut Pasal 117 KHI disebutkan bahwa “Talak adalah ikrar Suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan”. Sedangkan dalam Pasal 132 KHI disebutkan bahwa “gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama….”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dapat diartikan bahwa perkawinan putus karena Talak yang diajukan oleh Suami terhadap Istri melalui bantuan Pengadilan Agama, dan perkawinan putus karena Gugatan Cerai yang diajukan Istri terhadap Suami melalui bantuan Pengadilan Agama.

KHI mengatur tata cara putusnya perkawinan, baik yang diajukan melalui permohonan Cerai Talak oleh Suami ataupun Gugatan Cerai oleh Istri. Sedangkan mengenai kewajiban Suami terhadap Istri akibat putusnya perkawinan, KHI hanya mengatur kewajiban Suami terhadap Istri apabila putusnya perkawinan terjadi karena Talak sebagaimana diatur dalam Pasal 149 KHI yang menyatakan “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut’ah yang layak kepada bekas Istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas Istri tersebut qobla al dukhul, b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas Istri selama dalam iddah…”. Merujuk ketentuan tersebut, hak-hak Istri yang ditalak oleh Suaminya sudah diatur dengan jelas, sehingga Istri dapat menuntut hak-hak yang seharusnya diperoleh. Lain halnya apabila Istri yang mengajukan Gugatan Cerai, KHI tidak mengatur mengenai kewajiban Suami terhadap Istri apabila Istri yang mengajukan Gugatan Cerai, sehingga sulit bagi Istri untuk dapat menuntut hak-haknya.

Namun demikian, dalam praktiknya, apabila Istri yang mengajukan Gugatan Cerai, dimungkinkan Istri mendapatkan haknya berupa nafkah iddah dan nafkah mut’ah. Ini sebagaimana Putusan Pengadilan Tinggi Agama Samarinda No. 12/Pdt.G/2012/PTA.Smd tertanggal 23 April 2012, yang pada pokoknya mengabulkan permintaan nafkah iddah dan mut’ah oleh Penggugat (istri). Sejalan dengan itu adalah Putusan Mahkamah Agung RI No. 137K/AG/2007 yang mengabulkan nafkah iddah, Putusan Mahkamah Agung RI No. 276K/AG/2010 yang mengabulkan nafkah mut’ah dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor 27/Pdt.G/2011/PTA.Bdg tanggal 21 Maret 2011 yang mengabulkan nafkah iddah dan mut’ah dalam putusan verstek (tanpa dihadiri oleh Tergugat/suami).

Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor 27/Pdt.G/2011/PTA.Bdg tanggal 21 Maret 2011 dalam salah satu pertimbangannya menyatakan “…, oleh karenanya wajar meskipun istri yang mengajukan gugat cerai, secara ex officio suami dihukum untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas istri yang harus menjalani masa iddah yang tujuannya antara lain untuk istibra’ yang juga menyangkut kepentingan suami (Putusan MA No.137 K/AG/2007 tanggal 19 September 2007), yang besarnya nafkah iddah tersebut akan ditetapkan dalam amar putusan ini, sesuai kebutuhan hidup minimum di daerah tempat tinggal Penggugat, berdasarkan kepatutan dan rasa keadilan.” (NO)

 


Seri Hukum Kepailitan – Upaya Hukum Kreditor yang Tidak Terdaftar atau Tidak Mengajukan Tagihan Dalam PKPU

Pada saat debitor dinyatakan dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Putusan Pengadilan Niaga,acapkali kreditor lalai dalam mengajukan tagihan kepada Pengurus yang ditunjuk, baik karena tidak mendapat surat pemberitahuan dari debitor mengenai keadaan PKPU tersebut atau karena luput dalam mengakses media cetak (koran) dimana pengumuman PKPU tersebut dilakukan. Hingga akhirnya PKPU debitor tersebut berakhir dengan perdamaian (homologasi). Implikasinya, kreditor menjadi kehilangan haknya untuk mengajukan tagihan kepada debitor, tidak dapat memberikan suara/voting atas proposal perdamaian dari debitor, dan tidak dapat melakukan negosiasi mengenai proposal perdamaian yang diajukan debitor. Lantas apa upaya hukum yang dapat diajukan oleh kreditor?

Berdasarkan Pasal 286 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“UU Kepailitan”), “Perdamaian yang telah disahkan mengikat semua kreditor, kecuali kreditor yang tidak menyetujui rencana perdamaian sebagaimana dalam Pasal 281 ayat (2)”. Artinya, selain kreditor yang menolak perdamaian, seluruh kreditor termasuk yang kreditor yang tidak mengajukan tagihannya terikat pada proposal perdamaian dari debitor. Oleh karena terikat, maka tata cara penyelesaian tagihannya tunduk pada yang sudah ditentukan di dalam rencana perdamaian yang sudah disahkan (dihomologasi) oleh pengadilan niaga. Dengan demikian tagihan kreditor tidak hilang dan debitor wajib memenuhi tagihan tersebut sesuai jangka waktu yang ditentukan di dalam proposal perdamaian yang telah dihomologasi. Bagaimana bila debitor tidak melaksanakan proposal perdamaian tersebut?

Berdasarkan Pasal 291 jo. 170 ayat (1) UU Kepailitan, kreditor berhak menuntut pembatalan perdamaian bila debitor lalai memenuhi isi perdamaian. Artinya, kreditor yang tidak mengajukan tagihannya dapat mengajukan permohonan pembatalan perdamaian terhadap debitor ke pengadilan niaga dengan alasan debitor cidera janji. Debitor sendiri dalam Pasal 170 ayat (2) UU Kepailitan wajib membuktikan bahwa proposal perdamaian telah dipenuhi. Bila debitor terbukti cidera janji, maka menurut Pasal 291 ayat (2) UU Kepailitan debitor otomatis dinyatakan dalam keadaan pailit.

Meski demikian, permohonan pembatalan perdamaian bukan satu-satunya upaya bagi kreditor yang tidak mengajukan tagihan untuk mendapatkan penyelesaian atas tagihannya kepada debitor. Berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 18/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst., dalam salah satu pertimbangannya dinyatakan bahwa “disamping dengan proses PKPU, kreditor untuk menagih hutangnya juga bisa diajukan gugatan perdata (wanprestasi)”. Dari pertimbangan tersebut dapat dimaknai bahwa kreditor yang tidak mengajukan tagihannya juga berhak mengajukan gugatan perdata terhadap debitor ke pengadilan negeri di wilayah domisili hukum debitor atau pengadilan negeri yang disepakati oleh para pihak di dalam perjanjian. (WG)

VOL. XIII — JULI 2018

Seri Hukum Lalu Lintas – Masalah Konstitusionalitas Ojek Online Sebagai Angkutan Umum

Ojek atau angkutan orang/barang berbasis sepeda motor sudah dikenal di Indonesia sejak Tahun 1970an. Moda transportasi ini terus berkembang pesat mengalahkan moda transportasi lainnya seperti bus, bajaj, becak, bemo, angkot, dan lain sebagainya. Hingga kemudian muncul aplikasi ojek berbasis online (ojek online) seperti gojek yang beroperasi pertama kali pada bulan Oktober 2010, Grab Bike bulan Juni 2012 dan Uber pada April 2016. Menurut TribunNews.com jumlah ojek online saat ini di Jakarta sudah mencapai 1 juta driver aktif. Ditengah maraknya pertumbuhan ojek online tersebut, muncul upaya untuk melegitimasi ojek online sebagai angkutan umum, atau dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) disebut kendaraan bermotor umum. Berdasarkan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ, yang diakui sebagai kendaraan bermotor umum hanya mobil penumpang, mobil bus, mobil barang dan kendaraan khusus, sedangkan motor tidak diakui sebagai kendaraan bermotor umum. PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan juga tidak mencantumkan sepeda motor sebagai angkutan orang bermotor umum. Kemudian dalam Permenhub No. 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek juga menyatakan bahwa yang bisa beroperasi sebagai kendaraan bermotor umum yang mengangkut orang hanyalah mobil penumpang dan mobil bus. Tidak dimasukannya sepeda motor sebagai kendaraan bermotor umum inilah yang mendorong sebagian driver ojek online mengajukan Judisial Review (JR) Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ terhadap Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam Putusannya Nomor 41/PUU-XVI/2018 tanggal 28 Juni 2018, MK menolak permohonan para driver ojek online tersebut dan menyatakan Pasal 47 ayat (3) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut MK, angkutan jalan bertujuan untuk mendukung pembangunan dan integrasi nasional guna memajukan kesejahteraan umum, oleh karena itu sebagai sistem transportasi nasional maka angkutan umum harus mewujudkan keamanan dan keselamatan. Berdasarkan hal tersebut maka diaturlah kriteria jenis angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasa 47 ayat (3) UU LLAJ. Selain itu, Pasal 47 ayat (3) merupakan norma hukum yang berfungsi untuk melakukan rekayasa sosial agar warga menggunakan angkutan jalan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan, baik kendaraan bermotor perseorangan maupun kendaraan bermotor umum.

Meski demikian, MK tidak menutup mata adanya fenomena ojek online, namun hal tersebut tidak ada hubungannya dengan konstitusional atau tidak konstitusionalnya norma Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ karena faktanya ketika aplikasi online yang menyediakan jasa ojek belum ada atau tersedia seperti saat ini, ojek tetap berjalan tanpa terganggu dengan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ. Dengan pertimbangan tersebut, nampak bahwa MK tidak sepenuhnya menolak keberadaan ojek online. Namun tidak diakomodirnya sepeda motor sebagai angkutan orang bermotor umum dinilai MK tidak ada hubungannya dengan konstitusional Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ, karena tersedia atau tidaknya peraturan sepeda motor sebagai angkutan umum, ojek tetap diakui keberadaannya. (AST)

 


 

Seri Hukum Kepailitan – Ruang Lingkup Gugatan Lain-Lain Dalam UU Kepailitan dan Praktiknya

UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“UU Kepailitan”) mengenal banyak forum penyelesaian sengketa, salah satunya Gugatan Lain-Lain yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan:
“Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor”.

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan:
“Yang dimaksud dengan hal-hal lain adalah antara lain, actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana Debitor, Kreditor, Kurator, atau penurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya”.

Dari ketentuan tersebut-lah kemudian Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan dikenal sebagai dasar hukum Gugatan Lain-Lain. Merujuk penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan, Gugatan Lain-Lain meliputi: (a) Actio Pauliana, (b) Perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau (c) Perkara dimana Debitor, Kreditor, Kurator atau Pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit, termasuk gugatan Kurator terhadap direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaian atau kesalahannya. Ketiga lingkup Gugatan Lain-Lain diatas nampak bersifat limitatif dan hanya dalam wilayah kepailitan, bukan PKPU. Ini tercermin dari kata “atau” yang tidak membuka celah ruang lingkup lain dan kedudukan Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan yang masuk dalam lingkup Bab II tentang Kepailitan. Dengan demikian, Gugatan Lain-Lain yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan terbatas hanya mencakup perkara dalam lingkup kepailitan.

Lalu apakah Gugatan Lain-Lain menjadi tidak dapat diajukan di tahap PKPU? PKPU berdasarkan Pasal 222 ayat (2) UU Kepailitan merupakan upaya untuk menyelamatkan debitor dari kepailitan dengan cara mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Titik tekannya ada pada “rencana perdamaian”. Dalam PKPU Debitor masih dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri dan karenanya wajib mengajukan rencana perdamaian (Pasal 222 ayat (2) UU Kepailitan) dan terhadap aset-aset Debitor tidak diletakan sita umum sebagaimana dalam kepailitan.

Pasal 222 ayat (2) UU Kepailitan:
“Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor”.

Namun demikian, dalam prakteknya ada Kreditor yang menempuh upaya Gugatan Lain-Lain terhadap Debitor yang PKPU-nya berakhir dengan homologasi. Salah satunya Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 15/Pdt.Sus-Gugatan.Lainlain/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst jo. No.40/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dalam perkara tersebut Kreditor mengajukan Gugatan Lain-Lain terhadap Debitor agar Debitor menunda kewajiban pembayaran kepada salah satu Kreditor yang sedang dilakukan audit investigasi. Majelis Hakim kemudian mengabulkan Gugatan Lain-Lain tersebut. Dengan demikian, maka Gugatan Lain-Lain tidak hanya dapat diajukan ketika Debitor dinyatakan pailit (atau dalam lingkup kepailitan), namun juga dapat diajukan terhadap Debitor yang dinyatakan dalam PKPU yang berakhir dengan perdamaian (homologasi). (AST/WG)

VOL. XII — JUNI 2018

Seri Hukum Pidana – Mengutip Ucapan Yang Memuat Ujaran Kebencian Bukan Tindak Pidana?

Ucapan/Perkataan yang memuat unsur ujaran kebencian dapat menjadi penyebab seseorang dipidana seperti kasus Basuki Tjahaya Purnama dan Asma Dewi. Ucapan yang memuat ujaran kebencian yang mengandung unsur SARA antara lain diatur dalam Pasal 156, 156a, dan 157 KUHP serta Pasal 28 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi, Transaksi dan Elektronik (“UU ITE”). Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan tersebut dapat dipidana menurut ketentuan-ketentuan tersebut dan diancam dengan hukuman penjara dan/atau denda. Lalu bagaimana bila ucapan/perkataan yang mengandung ujaran kebencian tersebut merupakan kutipan dari perkataan/ucapan orang lain? Alfian Tanjung, seorang pemuka agama yang berasal dari Surabaya, dilaporkan oleh Tanda Pardamaian, orang yang menerima mandat dari Sekjen PDIP, ke Polda Metro Jaya terkait akibat ucapan/perkataannya di media sosial twitter dengan akun @alfiantmf yang menyebut “PDIP 85% isinya kader PKI”. Akibat dari perbuatannya menyebarkan informasi yang mengandung unsur SARA tersebut, Alfian Tanjung ditetapkan sebagai tersangka dan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Alfian Tanjung didakwa sebagai pelaku ujaran kebencian melalui media elektronik menurut Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Kasus ujaran kebencian Alfian Tanjung diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dibawah perkara No. 1521/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Pst. Hakim yang mengadili perkaranya memvonis Alfian Tanjung lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging). Majelis Hakim berpendapat bahwa Alfian Tanjung terbukti melakukan perbuatannya, namun perbuatannya tersebut bukan tindak pidana. Sebab Alfian Tanjung hanya mengutip informasi dari satu media yang tidak terdaftar di Dewan Pers maupun kata-kata dari tulisan politisi PDIP Dr. Ribka Tjiptaning dalam bukunya yang berjudul “Aku Bangga Jadi Anak PKI”. Sehingga dapat diartikan bahwa perbuatan ujaran kebencian yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dihasilkan dari pemikirannya sendiri secara sadar dan tidak mengutip atau meng-copy-paste dari tulisan/pendapat orang lain. Meski demikian, putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap dan masih ditengah upaya kasasi oleh jaksa ke Mahkamah Agung. (AST)

 


 

Seri Hukum Ketenagakerjaan – Konstitusionalitas Ketentuan Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Pasal 59 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) kembali diuji di Mahkamah Konstitusi dengan alasan tidak menjamin kepastian hukum. PKWT di dalam implementasinya dipandang tidak mengatur sanksi mengenai kewajiban pengusaha untuk mencatatkan PKWT dan pemeriksaan PKWT yang dicatatkan pengusaha oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan telah menimbullkan ketidakpastian hukum. Dalam Putusan Nomor 6/PUU-XVI/2018 tanggal 31 Mei 2018, Mahkamah Konstitusi menolak alasan tersebut dengan argumentasi bahwa PKWT dapat dibenarkan selama memenuhi syarat dalam Pasal 59 UU 13/2003, bukan hanya syarat mengenai jenis pekerjaannya, namun juga syarat Pasal 57, Pasal 58 dan keseluruhan Pasal 59 UU 13/2003. Pertimbangan tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012 yang menyatakan bahwa “jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 59 Undang-Undang a quo hal itu merupakan persoalan implementasi dan bukan persoalan konstitusionalitas norma yang dapat diajukan gugatan secara perdata ke peradilan lain. Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal 59 UU 13/2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945”.

Terkait dengan pencatatan PKWT, sebenarnya telah diatur dalam Kepmenakertrans Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT khususnya Pasal 13 yang menyatakan “PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan”. Dilalaikannya ketentuan tersebut akan berakibat pada perubahan PKWT menjadi PKWTT (Pasal 15). Dalam hal ternyata substansi PKWT tidak dinilai oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan atau tidak adanya sanksi bagi pengusaha yang tidak mencatatkan PKWT ke pegawai pengawas ketenagakerjaan, maka sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014 tanggal 4 November 2015 pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan ke Pengadilan Negeri setempat dengan syarat telah dilakukan perundingan bipartit namun tidak tercapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding, dan telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan. Artinya, PKWT harus dicatatkan dalam waktu 7 hari kerja namun keberlakuannya tidak menunggu hasil pemeriksaan atas terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat pembuatan perjanjian kerja tersebut oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (WG)

 


Seri Hukum Kesehatan – Hukum Aborsi di Indonesia

Baru-baru ini, terungkap seorang nenek bernama Yamini berusia 70 tahun dan berprofesi sebagai dukun pijat telah melakukan praktik jasa aborsi selama ± 25 tahun di Magelang, dengan tarif Rp 2 juta, dan korbannya mencapai puluhan wanita. Aborsi sendiri dilarang di Indonesia sebagaimana Pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Namun, dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan aborsi diperbolehkan jika indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan, atau kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Pasal 76 UU Kesehatan mengatur beberapa kriteria dalam melakukan aborsi yaitu, aborsi dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan, dengan izin suami, kecuali korban perkosaan, dan penyedia layanan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Menurut Pasal 194 UU Kesehatan, setiap orang yang sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan tersebut dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar. Selain itu, pelaku aborsi juga dapat dijerat dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagai bentuk kekerasan terhadap anak. Menurut Pasal 80 ayat (3) UU Perlindungan Anak, setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak yang menyebabkan anak itu mati maka pelaku dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun, dan/atau denda maksimal Rp 3 miliar. Dalam Pasal 80 ayat (4) UU Perlindungan Anak, pidana ditambah sepertiga bila yang melakukan penganiayaan tersebut orangtuanya. Artinya, tidak hanya pelaku praktik aborsi, ibu dari janin tersebut juga bisa dijerat dengan sanksi pidana. Ini sebagaimana Putusan PN Kuningan No. 118/Pid.Sus/2014/PN.KNG tanggal 20 November 2014 yang menjatuhkan pidana penjara 7 bulan dan denda Rp 10 juta subsider kurungan satu bulan kepada Miranti (ibu dari janin tersebut) karena terbukti melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan aborsi” dan melanggar Pasal 194 UU Kesehatan dan Pasal 80 ayat (3) dan (4) UU Perlindungan Anak. (RA/WG)

VOL. XI — MEI 2018

Seri Hukum Lingkungan – Putusan PN Batalkan Putusan MA Mengenai Ganti Rugi Kerusakan Lingkungan

PN Meulaboh melalui Putusan No. 16/Pdt.G/2017/PN.Mbo tanggal 12 April 2018 mengabulkan Gugatan objek sengketa tanah PT Kallista Alam terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ketua Koperasi Bina Usaha, Kantor BPN Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh berkenaan dengan posisi area yang dimaksud dalam posisi 96°32’0″ – 98°32’21” BT dan 3°47’8″ – 3°51’22” LU, berada di dalam 3 (tiga) wilayah Kabupaten, yaitu Wilayah Kabupaten Nagan Raya, Wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya dan Wilayah Kabupaten Gayo Lues. Putusan tersebut terbilang sebagai terobosan baru di bidang hukum karena telah membatalkan Putusan MA dalam tingkat PK. PT Kallista Alam sebelumnya telah dihukum PN Meulaboh melalui putusannya No. 12/Pdt.G/2012/Pn.Mbo tanggal 8 Januari 2014 yang dikuatkan dengan Putusan PT Banda Aceh No. 50/Pdt/2014/PTBN, Putusan Kasasi No. 651K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 dan Putusan PK No. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 karena telah dengan sengaja membuka lahan dengan cara membakar lahan gambut yang dilindungi. PT Kalista Alam kemudian dihukum membayar denda yang terdiri dari Rp 114,3 milyar sebagai kompensasi ke kas negara dan Rp 251,7 milyar untuk merestorasi 1.000 hektar lahan gambut yang terbakar dan hancur. Sebelum putusan tersebut dieksekusi, PT Kallista Alam mengajukan gugatan objek sengketa tanah ke PN Meaulaboh. PT Kallista Alam menyebutkan, koordinat lahan yang dicantumkan KLHK dalam gugatan dan juga dalam putusan pengadilan sebelumnya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan atau error in objecto.

Dalam putusan PN Meulaboh No. 16/Pdt.G/2017/PN.Mbo Majelis Hakim menyatakan menerima gugatan PT Kallista Alam dengan alasan bukti koordinat yang diberikan oleh KLHK adalah salah. Padahal di putusan PN Meulaboh No. 12/ Pdt.G/ 2012/ PN.Mbo yang diperkuat dengan putusan banding, kasasi dan PK, titik koordinat lahan bekas terbakar benar terbukti berada di wilayah usaha PT Kallista Alam dan merupakan kawasan yang dilindungi. Dengan adanya Putusan PN No. 16/Pdt.G/2017/PN.Mbo tersebut maka Putusan PN No. 12/Pdt.G/2012/Pn.Mbo jo. Putusan Banding No. 50/Pdt/2014/PTBN, Putusan Kasasi No. 651K/Pdt/2015 jo Putusan PK No. 1 PK/Pdt/2015 menjadi tidak mempunyai titel eksekutorial terhadap PT Kallista Alam sehingga putusan MA tersebut tidak bisa dieksekusi. Padahal, Putusan PK merupakan putusan hukum tertinggi yang tidak terbuka upaya hukum apapun, dan bahkan tidak dapat menunda eksekusi. Hal yang menjadi catatan adalah, PN Meulaboh tidak menggunakan kekuasaannya untuk menyatakan perkara tersebut ne bis in idem karena telah diperiksa dan diputus oleh Hakim sebelumnya. Selain itu, Putusan PN Meulaboh juga dapat menjadi preseden bahwa Putusan MA tingkat PK ternyata dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan di bawahnya. (RA)

 


 

Seri Hukum Pidana – Tindak Pidana Menyebarkan Informasi Palsu Mengenai Bom di Pesawat Udara

Akhir-akhir ini Indonesia diwarnai beberapa kasus penumpang pesawat bergurau membawa bom. Namun, dari beberapa gurauan tersebut, tidak semua pelakunya diproses menurut hukum. Terakhir tanggal 28 Mei 2018, Frantinus Sigiri, penumpang pesawat Lion Air rute Pontianak-Jakarta diamankan petugas Avsec Bandara Supadio Pontianak karena bercanda mengaku kepada pramugari dalam tasnya terdapat bom. Candaan ini menimbulkan kepanikan dan mengakibatkan penumpang lain berhamburan keluar melalui pintu darurat pesawat, melompat dari sayap pesawat sehingga menimbulkan luka serius, dan bahkan mengakibatkan penundaan atau keterlambatan penerbangan, serta kerugian lainnya. Berdasarkan Pasal 437 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”), setiap orang yang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf e dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan atau kerugian harta benda, dipidana dengan penjara paling lama 8 (delapan) tahun, dan bila mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Merujuk ketentuan tersebut, maka ancaman pidana penyebar informasi palsu mengenai bom sebenarnya cukup berat.

Selain sanksi pidana, maskapai penerbangan juga bisa memberi sanksi kepada orang yang menyebarkan informasi palsu mengenai adanya bom yaitu berupa larangan terbang dengan menggunakan maskapai tersebut (blacklist). Berdasarkan Pasal 5 angka 5 Condition of Carriage Lion Air, Lion Air sebagai Perusahaan Pengangkut dapat mengenakan sanksi kepada orang yang melakukan atau pernah melakukan tindakan tertentu di pesawat Perusahaan Pengangkut, atau jika Perusahaan Pengangkut tahu atau yakin bahwa Penumpang pernah melakukan tindakan tertentu terhadap properti Bandara atau pesawat Perusahaan Pengangkut lainnya yang menurut Perusahaan Pengangkut dapat membawa dampak negatif terhadap keselamatan, kenyamanan atau kesehatan orang tersebut, penumpang Perusahaan Pengangkut lainnya, pegawai atau agen Perusahaan Pengangkut, kru udara atau pesawat atau operasional pesawat pengangkut. Berdasarkan Pasal 5 angka 8 Condition of Carriage Lion Air, sanksi untuk tindakan tersebut adalah Perusahaan Pengangkut bisa memberikan larangan penerbangan dengan menggunakan jasa Perusahaan pengangkut secara permanen atau untuk waktu yang tidak terbatas. Sanksi larangan terbang (blacklist) tersebut pernah dialami oleh Regina Goenawan, Sandra Gunawan, Richard Goenawan, dan Ramona Goenawan yang pada akhir tahun 2016 pernah dilarang terbang oleh Maskapai Air Asia dari Jakarta ke Surabaya karena pernah melakukan tindakan kekerasan terhadap salah satu awak kabin. Namun sanksi larangan terbang (blacklist) yang ditujukan kepada Regina dkk belakangan ternyata tidak benar/keliru setelah Pengadilan Negeri Tangerang mengabulkan Gugatan Regina dkk dan menghukum Maskapai Air Asia membayar ganti rugi materiil dan immaterial dan menyatakan permintaan maaf melalui media cetak.

Selain Maskapai, penumpang lainnya yang dirugikan karena perbuatan yang dilakukan oleh penyebar informasi palsu mengenai adanya bom juga berhak mengajukan gugatan perdata atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap pelaku penyebar informasi palsu tersebut. Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain wajib mengganti kerugian yang ditimbulkannya. Sayangnya belum ada penumpang yang melakukan langkah tersebut, namun Gugatan PMH cukup sering digunakan dalam kasus penerbangan seperti perlakuan diskriminatif awak kabin terhadap penumpang pesawat hingga pembatalan penerbangan secara sepihak oleh maskapai tanpa penggantian. Kasus perlakuan diskriminatif seperti pernah dialami oleh Dwi Aryani, seorang disabilitas yang diusir dari maskapai Etihad Airways karena menggunakan kursi roda dua tanpa pendampingan dan dianggap dapat membahayakan penerbangan. Ia kemudian mengajukan gugatan PMH terhadap Etihad Airways, PT Jasa Angkasa Semesta, Tbk (PT JAS), dan Kementerian Perhubungan RI Cq Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Dirjen Perhubungan Udara) ke PN Jakarta Selatan. Melalui putusan No. 846/Pdt.G/2016/PN JKT.SEL tanggal 4 Desember 2017, Etihad Airways dinyatakan telah melakukan PMH dan dihukum membayar ganti kerugian materil dan immateril sebesar Rp. 537.000.000 serta menyampaikan permintaan maaf kepada media cetak harian Kompas. Etihad Airways terbukti melanggar hukum dan melanggar kepatutan serta melakukan diskriminasi terhadap Dwi Aryani sebagai penyandang disabilitas. Sedangkan kasus pembatalan penerbangan sepihak oleh Maskapai Air Asia pernah dialami oleh Hastjarjo Boedi Wibowo yang berujung pada dihukumnya Air Asia membayar ganti rugi materil dan immateril. (RA)