VOL. V — NOVEMBER 2017

Seri Hukum Pidana — Kepemilikan Senjata Api Oleh Warga Sipil

Pada 9/11/2017 terjadi insiden dr. Ryan Helmi menembak istrinya dr. Letty Sultri hingga tewas di Klinik Azzahra, Cawang, Jakarta Timur. Helmi dan Letty terlibat pertengkaran hebat hingga akhirnya Helmi menembak istrinya sebanyak 6 kali hingga tewas di lokasi kejadian. Hal ini sangat meresahkan dan menimbulkan pertanyaan mengapa Helmi membawa senjata api saat bertemu dengan istrinya. Bagi sebagian orang, kepemilikan senjata api merupakan keharusan dengan alasan untuk keselamatan diri. Tidak sembarang orang bisa membawa senjata api. Peraturan mengenai senjata telah diatur di UU Darurat 12/1951, UU 8/1948 dan Perppu 20/1960, Surat Keputusan Kapolri (SKEP) No.244/II/1999, dan Surat Keputusan Kapolri No.82/II/2004.

Mengacu SKEP Kapolri No. 82/II/2004 ada syarat yang harus dipenuhi warga sipil bila ingin memiliki senjata api yaitu: minimal berusia 24 tahun dan maksimal 65 tahun, sehat jasmani rohani dan psikologisnya yang ditetapkan oleh dokter RS Polri, memiliki keterampilan penggunaan senjata api yang dibuktikan oleh sertifikat menembak yang disahkan oleh Polri (pejabat Polri yang ditunjuk), memiliki keterampilan dalam merawat, menyimpan dan mengamankan senjata api sehingga terhindar dari penyalahgunaan senjata api, melampirkan syarat administratif seperti SKCK, SIUP besar atau Akta pendirian perusahaan PT, CV, PD (CV dan PD sebagai pemilik perusahaan atau ketua organisasi), surat keterangan jabatan atau surat keputusan pimpinan, lulus screening yang dilaksanakan oleh Direktorat Intelkam Polda, daftar riwayat hidup secara lengkap, dan pas foto berwarna berlatar belakang warna merah ukuran 2×3 dan 4×6 sebanyak 5 lembar. Dalam SKEP tersebut juga dijelaskan warga sipil yang bisa memiliki senjata api hanya kalangan tertentu seperti direktur utama, komisaris, menteri, pejabat pemerintah, pengacara dan dokter. (RA)


Seri Hukum Pertanahan – Konsinyasi Sebagai Upaya Penyelesaian Masalah Ganti Rugi Tanah

Akhir-akhir ini pemerintah banyak melakukan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan toll, waduk, jalan layang dan jalur Kereta Api yang tentunya banyak menyinggung tanah warga dan menimbulkan masalah dalam ganti ruginya. Acapkali tanah yang akan dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum statusnya tidak jelas, baik karena tidak diketahui siapa pemiliknya ataupun karena tanah tersebut masih dalam sengketa antara para pihak. Akan permasalahan ini, ada mekanisme hukum yang disebut dengan konsinyasi yang diatur dalam Pasal 1404-1412 KUHPerdata. KUHPerdata tidak mendefinisikan apa itu konsinyasi, namun dari pengertian yang ada dapat disimpukan bahwa Konsinyasi (Consignatie) adalah “Penitipan uang atau barang pada pengadilan guna pembayaran satu utang. Penawaran pembayaran yang disusul dengan penitipan pada pengadilan membebaskan debitur asal dilakukan dengan cara-cara yang sah menurut undang-undang”.

PERMA Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Rugi ke Pengadian Negeri Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum memberikan pedoman bila pemilik tanah yang berhak menerima ganti rugi tidak diketahui keberadaannya ataupun tanah yang akan diganti rugi masih dalam sengketa, maka konsinyasi dapat menjadi pilihan bagi debitor untuk menitipkan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri untuk kemudian dicatat dalam Buku Register Konsinyasi. Bagi pemilik tanah yang tidak diketahui keberadaannya, wajib dilakukan pemberitahuan kepada Camat dan Lurah/Kepala Desa, dan ganti rugi tidak dapat diberikan hingga pemilik tanah diketahui keberadaannya. Bagi tanah yang masih dalam sengketa, ganti rugi dapat diberikan kepada pihak yang berhak bila putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap. (AST)


Seri Hukum Kependudukan — Penghayat Kepercayaan Bisa Masuk Kolom Agama di KTP

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 menyatakan Pasal 61 ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU 23/2006 jo. UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal-pasal tersebut dipandang diskriminatif bagi penghayat kepercayaan karena kolom agama di KTP dan KK bagi penghayat kepercayaan tidak boleh diisi dengan kepercayaan yang dianutnya (dikosongkan). Diskriminasi lainnya bagi penghayat kepercayaan adalah tidak terkadomodirnya pendidikan kepercayaan di sekolah-sekolah, perkawinan yang tidak diakui oleh negara, kesulitan dalam mendaftar TNI dan CPNS, dan kesulitan dalam mendapat pelayanan publik seperti SIM, BPJS, izin usaha, dan lainnya.

Pasal 61 UU 23/2006 jo. UU 24/2013 menyatakan:
(1) KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua.
(2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan

Pasal 64 UU 23/2006 jo. UU 24/2013 menyatakan:
(1) KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el.
(5) Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

MK berpendapat, pasal-pasal tersebut diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena dinilai tidak memiliki kepastian hukum dan tidak menjamin hak jaminan kesamaan warga negara di hadapan hukum. Untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan maka MK memerintahkan pencantuman data tentang agama bagi penghayat kepercayaan agar dicatatkan sebagai “penghayat kepercayaan” tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK dan KTP elektronik. (RA)