VOL. XVII — NOVEMBER 2018

Seri Hukum Perdata – Tanggung Jawab Perusahaan/Maskapai Penerbangan

Dunia penerbangan Indonesia kembali berduka setelah Pesawat Lion Air JT 610 kembali mengalami kecelakaan di wilayah udara Karawang yang mengakibatkan jatuh di perairan Tanjung Karawang pada tanggal 29 Oktober 2018. Lantas bagaimana tanggung jawab perusahaan penerbangan tersebut terhadap penumpang yang meninggal dunia? Berdasarkan Pasal 141 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”), “Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara”. Sedangkan yang dimaksud dengan Pengangkut menurut Pasal 1 angka 26 UU Penerbangan adalah “badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga”. Dengan demikian, merujuk Pasal 141 ayat (1) dan ayat (2), UU Penerbangan menghendaki maskapai penerbangan bertanggung jawab secara mutlak bila terjadi kecelakaan di dalam pesawat dan/atau naik/turun pesawat. Tanggung jawab yang dimaksud adalah atas mengganti kerugian yang timbul/terjadi, baik kerugian yang telah ditetapkan maupun ganti kerugian tambahan (vide Pasal 141 ayat (3) UU Penerbangan).

Untuk ganti kerugian yang ditetapkan, diatur dalam Pasal 165 ayat (1) UU Penerbangan yang menyatakan, “Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri”. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (“PM 77/2011”), khususnya Pasal 3 huruf (a), penumpang yang meninggal dunia berhak mendapat ganti rugi sebesar Rp.1.250.000.000,00, cacat tetap sebesar Rp.1.250.000.000,00, dan luka-luka sebesar Rp. 200 juta. Jumlah ganti rugi tersebut diluar ganti rugi yang diberikan oleh lembaga asuransi yang ditetapkan oleh pemerintah (vide Pasal 165 ayat (1) UU Penerbangan). Meski demikian, perusahaan penerbangan dan penumpang dapat menetapkan jumlah ganti rugi yang lebih tinggi daripada yang ditentukan dalam Pasal 165 ayat (1) UU Penerbangan (vide Pasal 166 UU Penerbangan). Sedangkan untuk ganti rugi kehilangan bagasi atau isi bagasi, Pasal 5 ayat (1) PM 77/2011 menetapkan ganti rugi sebesar Rp 200 ribu perkilogram dan paling banyak Rp 4 juta.

Untuk ganti rugi tambahan, Pasal 141 ayat (3) UU Penerbangan menyatakan, “Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan”. Artinya, ahli waris atau korban harus terlebih dahulu mengajukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum ke Pengadilan dan menetapkan ganti kerugian tambahan yang dituntutnya. Selanjutnya Putusan Pengadilan akan menjadi dasar bagi maskapai penerbangan untuk membayar ganti rugi tambahan kepada ahli waris penumpang/korban.

Dengan demikian, tanggung jawab maskapai penerbangan atas ganti kerugian yang timbul dari kecelakaan pesawat tidak hanya sebatas yang ditentukan dalam PM 77/2011. UU Penerbangan juga memberikan keleluasaan bagi ahli waris penumpang/korban untuk menuntut ganti rugi tambahan. Ganti rugi tambahan tersebut dapat berupa ganti rugi biaya perjalanan untuk mengurus ganti kerugian, ganti rugi atas kehilangan penghasilan bulanan ataupun komisi, atau ganti rugi lainnya yang harus dapat dibuktikan dalam pembuktian di persidangan salah satunya sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 160/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst tanggal 16 Mei 2007. (WG)

 


 

Seri Hukum Konstitusi – Surat Keputusan Bersama (SKB) Sebagai Objek Uji Materiil (Judicial Review)

Judicial Review atau uji materiil dari suatu peraturan perundang-undangan merupakan proses pengujian suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang diajukan oleh orang/badan hukum yang memiliki hak dan kepentingan hukum (legal standing) dan diajukan ke lembaga peradilan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) yang meliputi UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/PERPPU, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selain peraturan-peraturan tersebut, masih ada peraturan dalam bentuk lain seperti Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan OJK, dan lainnya. Bentuk peraturan lain tersebut tidak termasuk dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, namun bentuk peraturan lain tersebut diakomodir dan diakui keberadaannya dalam Pasal 8 UU 12/2011 sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dalam hal suatu perundang-undangan saling bertentangan, orang/badan hukum yang berkepentingan berhak untuk mengajukan uji materiil kepada lembaga peradilan yang berwenang. Dalam hal Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945, menurut Pasal 9 ayat (1) UU 12/2011 pengujiannya dilakukan di Mahkamah Konstitusi. Sedangkan untuk peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, menurut Pasal 9 ayat (2) UU 12/2011 pengujiannya dilakukan di Mahkamah Agung. Lantas, bagaimana dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang seringkali dibuat oleh antar instansi/lembaga negara? Baik Pasal 7 ayat (1) maupun Pasal 8 UU 12/2011 tidak menyebut SKB sebagai peraturan perundang-undangan. Padahal SKB acapkali diterbitkan seperti untuk penetapan cuti/libur bersama, optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, penegakan hukum terhadap PNS yang melakukan tindak pidana, penguatan kebijakan tentang desa, kode etik dan pedoman perilaku Hakim, pedoman pembangunan perumahan dan pemukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang, dan bentuk SKB lainnya.

Kekosongan hukum ini menimbulkan celah apakah SKB merupakan bentuk peraturan perundang-undangan menurut UU 12/2011 dan apakah dapat diuji materiil ke Mahkamah Agung. Sebagian ahli hukum memandang SKB bukan merupakan dan tidak termasuk peraturan perundang-undangan menurut UU 12/2011, sebagian ahli hukum lainnya memandang SKB sebagai peraturan kebijakan yang dapat dilakukan uji materiil di Mahkamah Agung. Namun, pasca Putusan Mahkamah Agung Nomor 36 P/HUM/2011 tanggal 09 Februari 2012 tentang uji materiil terhadap Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 08 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diterima dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung, SKB kini menjadi objek uji materiil di Mahkamah Agung. Dalam pertimbangan putusan tersebut, Mahkamah Agung menilai SKB secara materiil termasuk kategori peraturan menurut Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 karena: (a) dibentuk atas perintah perundang-undangan yang lebih tinggi, (b) bentuk peraturan dalam Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011 tidak bersifat limitatif atau terbuka sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi dan dibuat oleh lembaga yang berwenang sehingga SKB memenuhi bentuk peraturan tersebut meski penamaannya berupa SKB, dan (c) Mahkamah Agung tidak melanggar asas Nemo Judex in Rex Sua (tidak seorangpun dapat menjadi Hakim atau mengadili hal yang menyangkut dirinya sendiri) karena ada unsur Komisi Yudisial yang sama-sama berperan membentuk SKB tersebut. Dengan demikian, pasca putusan tersebut dapat dimaknai bahwa SKB dapat menjadi objek uji materiil di Mahkamah Agung. (WG)