VOL. XVIII — DESEMBER 2018

Seri Hukum Perdata – Prosedur Pengaduan Konsumen di Sektor Perbankan dan Sektor Jasa Keuangan Lainnya

Pada tanggal 10 September 2018, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan OJK (“POJK”) Nomor 18/POJK.07/2018 Tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan yang mulai berlaku 6 bulan setelah diundangkan atau tanggal 10 Maret 2019 (“POJK 18/2018”). POJK 18/2018 tersebut mencabut Peraturan Bank Indonesia (“PBI”) Nomor 10/10/PBI/2008 jo. Nomor 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, Pasal 34-38 POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan, dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/13/DPNP jo. Nomor 7/24/DPNP perihal Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

Pelaku Usaha yang dimaksud dalam POJK 18/2018 tidak hanya lembaga perbankan, namun juga Perantara Pedagang Efek, Manajer Investasi, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, dan Penyelenggaran Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, baik yang bersifat konvensional maupun syariah. Sedangkan Konsumen yang dimaksud meliputi pihak yang menempatkan dananya dan/atau yang memanfaatkan layanan yang disediakan pelaku usaha. Dalam POJK 18/2018, pelaku usaha wajib memiliki prosedur layanan pengaduan secara tertulis dan mencantumkannya dalam perjanjian ataupun dokumen transaksi keuangan, serta mempublikasinya dalam laporan tahunan, website atau media lain yang dikelolanya. Prosedur penanganan pengaduan dilakukan secara gratis dan dapat diajukan oleh Konsumen atau Kuasanya, dengan melampirkan identitas konsumen, surat kuasa, jenis dan tanggal transaksi keuangan dan permasalahan yang diadukan, baik lisan maupun tertulis. Bila ada dokumen yang terkait langsung dengan permasalahan, pelaku usaha dapat menetapkan dokumen tersebut sebagai dokumen yang wajib dilengkapi. Pelaku usaha harus memberikan kesempatan kepada konsumen untuk melengkapi dokumen tersebut dalam 20 hari kerja dan dapat diperpanjang maksimal 20 hari kerja. Ketentuan ini nampaknya merujuk pada kasus Allianz Life vs nasabahnya (Ifranius Algadri) dimana Allianz Life dituduh mempersulit klaim nasabah karena mensyaratkan sejumlah dokumen tambahan untuk pencairan klaim. Namun POJK 18/2018 telah mengatur konsekuensi lebih lanjut bila dokumen yang disyaratkan pelaku usaha tidak dipenuhi oleh nasabah, maka pelaku usaha dapat menolak pengaduan nasabah tersebut.

Untuk pengaduan secara lisan, pelaku usaha wajib menyelesaikannya dalam 5 (lima) hari kerja sejak pengaduan diterima. Untuk pengaduan secara tertulis, penyelesaiannya maksimal 20 (dua puluh) hari kerja sejak dokumen yang terkait langsung dengan pengaduan diterima secara lengkap dan dapat diperpanjang maksimal 20 hari kerja. Untuk penyelesaian pengaduan diluar jangka waktu tersebut, pelaku usaha wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada konsumen. Pelaku usaha dapat menolak pengaduan konsumen bila (a) konsumen tidak melengkapi dokumen yang disyaratkan sesuai jangka waktu yang ditetapkan, (b) pengaduan telah diselesaikan, (c) pengaduan tidak terkait kerugian atau potensi kerugian materil, wajar dan langsung sebagaimana perjanjian atau dokumen transaksi keuangan, (d) pengaduan tidak terkait transaksi keuangan yang dikeluarkan pelaku usaha tersebut. Pelaku usaha wajib memberikan tanggapan atas pengaduan konsumen, baik lisan maupun tertulis. Tanggapan yang diberikan dapat berupa penjelasan permasalahan (bila tidak ada kesalahan dari pelaku usaha) atau penawaran penyelesaian (bila ada kesalahan dari pelaku usaha yang menimbulkan kerugian atau potensi kerugian bagi konsumen). Menurut Surat Edaran OJK Nomor 17/SEOJK.07/2018 tanggal 06 Desember 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan yang baru akan berlaku pada tanggal 10 Maret 2019 (“SE OJK 17/2018”), penawaran penyelesaian yang dimaksud dapat berupa permintaan maaf, penawaran ganti rugi (remedy) atau perbaikan produk/layanan. Untuk penawaran penyelesaian berupa ganti rugi, harus dipenuhi syarat bahwa konsumen telah memenuhi kewajibannya dan kerugian atau potensi kerugian harus bersifat materiil, wajar dan secara langsung pada konsumen.

Bila konsumen menolak tanggapan dari pelaku usaha, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui pengadilan atau diluar pengadilan, bergantung pada forum penyelesaian sengketa yang disepakati dalam perjanjian atau dokumen transaksi keuangan antara pelaku usaha dan konsumen. Untuk penyelesaian diluar pengadilan, dilakukan di Lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang terdaftar dan ditetapkan oleh OJK. POJK 18/2018 mewajibkan pelaku usaha memiliki fungsi atau unit Layanan Pengaduan, di kantor pusat maupun cabang guna menangani dan menyelesaikan pengaduan konsumen yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi. Selain itu, pelaku usaha juga wajib memiliki mekanisme pelaporan internal Layanan Pengaduan. Laporan Layanan Pengaduan wajib disampaikan kepada OJK paling lambat tanggal 10 per triwulan melalui sistem pelaporan elektronik OJK. Keterlambatan pelaku usaha menyampaikan laporan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 100 ribu perhari maksimal Rp. 10 juta. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat diancam dengan sanksi administratif lainnya berupa teguran tertulis atau penurunan dalam penilaian tingkat kesehatan pelaku usaha. (WG)

 


 

Seri Hukum Keluarga – Batas Usia Minimal Perkawinan

Menurut UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), khususnya Pasal 1 angka (1), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Ketentuan ini menegaskan kembali Pasal 47 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang menyatakan anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah menikah ada di bawah kekuasaan orangtua. Artinya, usia anak menurut UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan adalah 18 tahun. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi batasan atau ukuran dewasa seseorang, termasuk batasan usia seseorang dianggap cakap hukum dan mampu bertanggung jawab. Meski demikian, usia perkawinan di dalam UU Perkawinan ternyata diatur berbeda, atau bukan 18 tahun. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menetapkan bahwa batas usia perkawinan bagi laki-laki adalah 19 tahun, dan perempuan 16 tahun. Perbedaan penetapan usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan tersebut dipandang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) karena merupakan tindakan diskriminatif atas dasar perbedaan jenis kelamin yang dapat membatasi hak perempuan atas pendidikan yang setara dengan laki-laki (minimal 12 tahun) dan hak perempuan untuk mengenyam usia anak lebih lama daripada laki-laki.

Atas permasalahan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusannya Nomor 22/PUU-XV/2017 Tanggal 13 Desember 2018 menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sepanjang frasa “usia 16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945. MK melihat ada ketidaksinkronan antara batas minimal usia perkawinan anak perempuan dalam UU Perkawinan dengan usia anak dalam UU Perlindungan Anak yang berdampak pada kerugian konstitusional berupa hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta hak atas perlindungan dari diskriminasi sebagaimana Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Namun demikian, karena penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan umum (legal policy) pembentuk undang-undang, maka MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tersebut tetap berlaku hingga diubah oleh pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun. Namun bila hingga tenggang waktu tersebut belum juga diubah oleh pembentuk undang-undang, maka batas minimal usia perkawinan menurut Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan diharmonisasikan dengan usia anak dalam UU Perlindungan Anak dan diberlakukan sama bagi laki-laki dan perempuan, yakni 18 tahun. (WG)