Seri Hukum Pidana – Pinjam Pakai Barang Bukti yang Disita Oleh Penyidik dan Sanksi Pidananya
Dalam Perkara tindak pidana, acapkali Penyidik Kepolisian melakukan sita atas benda yang terkait dengan tindak pidana, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Persoalannya kemudian, bagaimana bila benda yang disita bukan milik terlapor, melainkan milik pihak ketiga? Apakah pihak ketiga selaku pemilik dapat menggunakan/memanfaatkan benda miliknya yang disita oleh penyidik? Berdasarkan Pasal 23 Perkapolri No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Indonesia (Perkapolri 10/2010), pemilik benda sitaan berhak memanfaatkan benda sitaan dengan mengajukan permohonan pinjam pakai.
Permohonan pinjam pakai hanya dapat ajukan oleh pemilik atau orang yang berhak atas benda sitaan tersebut kepada Penyidik. Atasan Penyidik kemudian akan melakukan penilaian dan pertimbangan atas permohonan tersebut. Penilaian dan pertimbangan tersebut meliputi bukti kepemilikan benda sitaan, kesediaan untuk merawat dan tidak mengubah bentuk, wujud dan warna barang bukti, kesediaan untuk menghadirkan benda sitaan bila diperlukan sewaktu-waktu, kemudian untuk tidak memindah tangankan benda sitaan kepada pihak lain. Apabila berdasarkan penilaian dan pertimbangan tersebut Atasan Penyidik menilai dapat dikabulkan, maka, pemilik dapat melakukan pinjam pakai atas benda sitaan tersebut. Perkapolri 10/2010 tidak mengatur sanksi bila benda sitaan yang dipinjam pakai ternyata rusak/hilang. Namun sanksi tersebut diatur dalam Pasal 233 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara.
Pasal 233 KUHP: “barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikn sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat dan daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus-menerus atau untuk sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Dalam hal pinjam pakai tidak dikabulkan, maka benda sitaan tetap ada pada penguasaan Penyidik. Menurut pasal 15 Perkapolri 10/2010, Pejabat Pengelola Barang Bukti (PPBB) wajib melakukan pengamanan dan perawatan terhadap benda sitaan, seperti melakukan pemeriksaan dan pengawasan berkala, mencegah dari kebakaran, kebanjiran dan pencurian, dan sebagainya. Bila terjadi kealpaan atau kelalaian yang mengakibatkan barang bukti rusak/hilang, maka sanksi dalam Pasal 233 KUHP diberlakukan bagi PPBB tersebut.
Atasan Penyidik yang berwenang mengabulkan atau menolak permohonan pemilik ata u pihak yang berhak untuk melakukan pinjam pakai barang sitaan yaitu :
a. Para Direktur Bareskim Polri, Direktur Polair Polri dan Direktur Lalu Lintas Polri pada tingkat Mabes Polri;
b. Para Direktur Reskrim/Narkoba/Polair/Lantas pada tingkat Polda;
c. Para Kapolwil/Kapolwiltabes pada tingkat Polwil.Polwiltabes;
d. Para Kapoltabes/Kapolres/tro/ta pada tingkat Poltabes/Polres/tro/ta; dan
e. Para Kapolres/tro/ta tingkat Polsek/tro/ta.
Dengan demikian terhadap benda sitaan dalam perkara tindak pidana, pemilik atau pihak yang berhak dapat mengajukan permohonan pinjam pakai, dan harus mentaati setiap persyaratan yang ditentukan. Kegagalan memenuhi persyaratan tersebut dapat diancam dengan Pasal 233 KUHP. Perlu dipahami bahwa salah satu unsur utama dalam Pasal 233 KUHP adalah adanya kesengajaan (opzet/dolus), bukan kealpaan (culpa). Jadi untuk dapat dipidananya sipelaku, maka harus ada unsur kesengajaan dari pelaku untuk menghilangkan barang bukti. Ketentuan ini pernah diuji dalam Putusan Pengadilan Negeri Pamekasan Nomor: 178/Pid.B/2011.PN.PKS tanggal 15 Desember 2011 yang menghukum pelakunya selama 6 bulan penjara. Kemudian Putusan Pengadilan Militer 1-01 Banda Aceh Nomor: 18-K/PM 1-01/AD/11/2015 tanggal 9 April 2015 yang menghukum pelakunya selama 2 bulan 20 hari. (AST/WG)
Seri Hukum Pidana – Paralegal vs Advokat
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 1 Tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum (“Permenkumham 1/2018”) yang efektif berlaku saat diundangkan yaitu tanggal 26 Januari 2018. Permenkumham 1/2018 merupakan salah satu aturan implementasi dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bantuan Hukum”). UU Bantuan Hukum tidak mengatur definisi mengenai Paralegal, namun dalam Pasal 2 Permenkumham 1/2018 menyebutkan bahwa “Paralegal yang diatur dalam Peraturan Menteri ini merupakan paralegal yang melaksanakan pemberian bantuan hukum dan terdaftar pada Pemberi Bantuan Hukum”. Kemudian Pasal 3 Permenkumham 1/2018 menyebutkan bahwa Pemberi Bantuan Hukum (LBH atau Ormas) memberikan bantuan hukum secara litigasi dan non-litigasi, dan dalam memberikan bantuan hukum, Pemberi Bantuan Hukum berhak merekrut Paralegal sebagai pelaksana bantuan hukum.
Hal yang menarik adalah, Paralegal dipandang berbeda dengan Advokat. Pasal 9 dan 10 UU Bantuan Hukum memisahkan kata Paralegal dengan Advokat yang masing-masing berdiri sendiri. Syarat untuk menjadi Paralegal pun berbeda dengan syarat menjadi Advokat, salah satunya berusia paling rendah 18 tahun, sedangkan Advokat minimal 25 tahun. Selain itu, Paralegal tidak harus lulusan Sarjana Hukum, berbeda dengan Advokat yang mengharuskan Sarjana Hukum. Namun, untuk menjadi Paralegal tetap harus mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan Pemberi Bantuan Hukum, Perguruan Tinggi LSM, atau lembaga pemerintah yang menjalankan fungsi di bidang hukum setelah mendapat persetujuan dari BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional). Setelah lulus, Paralegal berhak mendapat Sertifikat dan kemudian dapat memberikan bantuan hukum secara litigasi dan non-litigasi layaknya Advokat. Berbeda dengan Advokat, meski sama-sama diwajibkan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh organisasai Advokat dan lulus ujian Advokat, Advokat juga wajib mengantongi Berita Acara Sumpah dari Pengadilan Tinggi sebelum menjalankan profesinya memberikan jasa hukum.
Permenkumham 1/2018 dan UU Bantuan Hukum nampaknya ingin memisahkan Paralegal dari Advokat yang terkesan sudah tidak mungkin lagi memiliki satu wadah tunggal yang dapat menaungi para anggotanya. Selain itu, nampak ada upaya pemerintah untuk menempatkan Paralegal agar berada dibawah naungan Pemerintah dengan diterbitkannya Permenkumham 1/2018 ini, dan menempatkan BPHN sebagai satu-satunya lembaga yang berhak memberikan persetujuan untuk melakukan pendidikan dan pelatihan bagi Paralegal. (RA/WG)