Seri Hukum Perdata – Jaksa Pengacara Negara Tidak Berwenang Mewakili BUMN Dalam Perkara Perdata
Jaksa Pengacara Negara (“JPN”) sebagai bagian dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia belakangan cukup banyak berperan dalam penanganan perkara perdata, baik mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam suatu sengketa bisnis maupun Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”). Beberapa kasus dimana JPN mewakili Pemerintah RI diantaranya gugatan Hesyam Al-Waraq kepada Pemerintah RI di forum arbitrase melalui Organisasi Konferensi Islam (OKI), gugatan Rafat Ali Rizvi kepada Pemerintah RI di forum arbitrase ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes), gugatan Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd kepada Pemerintah RI di forum arbitrase ICSID, gugatan KemenLH RI terhadap PT Kallista Alam terkait kebakaran hutan, dan sejumlah perkara lainnya. Sedangkan beberapa kasus dimana JPN mewakili BUMN diantaranya perkara PT PLN melawan pelanggannya, perkara Bank BRI melawan PT Mulia Persada Pasific, perkara PT Pelindo II melawan PT Indodaya Abadisakti, dan sejumlah perkara lainnya.
Landasan hukum Kejaksaan RI dapat berperkara bidang perdata di antaranya di atur dalam Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI (“UU 5/1991”) yang menyatakan “Di bidang perdata dan tata usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah”, yang kemudian diubah menjadi Pasal 30 Ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 (“UU 16/2004”) yang menyatakan “Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”, Pasal 117 UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas mengenai pembubaran perseroan, Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengenai permohonan kepailitan oleh Kejaksaan, dan peraturan lainnya. Landasan-landasan hukum tersebut selama ini menjadi alasan JPN berperkara di bidang perdata, salah satunya untuk mewakili BUMN.
Praktiknya pun, peradilan di bawah Mahkamah Agung hingga Mahkamah Agung sendiri beberapa kali menerima kewenangan JPN mewakili BUMN dalam perkara perdata di pengadilan, di antaranya (i) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2820 K/Pdt/1999 tanggal 29 Januari 2001 dalam perkara perdata antara PT. Pann Multi Finance (Persero) melawan PT Elsafa, (ii) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 4777 K/Pdt/1998/MA RI tanggal 20 Oktober 1999 dalam perkara perdata antara Yanto Chandra melawan PT. Kereta Api Indonesia (Persero), (iii) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1709 K/Pdt/1998 tanggal 10 Agustus 2005 antara PT Kereta Api Indonesia (Persero) melawan Stefanus Nicolaus Hendrik, dan (iv) Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 731 K/Pdt/2004 tanggal 24 Mei 2006 antara PT. Indodaya Abadisakti melawan PT.Pelabuhan Indonesia II (Pelindo) Persero.
Namun belakangan, MA menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2012 tanggal 12 September 2012 Tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan (“SEMA 07/2012”). Dalam SEMA 07/2012 tersebut, MA menegaskan bahwa JPN tidak dapat mewakili BUMN untuk perkara perdata. MA merujuk pada Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”) yang menyatakan bahwa BUMN merupakan badan hukum Perseroan Terbatas yang maknanya kekayaannya terpisah (telah dipisahkan) dan bukan merupakan bagian dari kekayaan negara.
Hasil Rapat Kamar Perdata Sub Kamar Perdata Umum butir I huruf g halaman 2 SEMA 07/2012 menyatakan:
“Jaksa sebagai Pengacara Negara tidak dapat mewakili BUMN (Pesero), karena BUMN tersebut berstatus badan hukum Privat (vide Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN).”
Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN:
“Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.”
Dengan demikian, merujuk SEMA tersebut, JPN tidak lagi berwenang mewakili BUMN dalam menangani perkara perdata yang dihadapi oleh BUMN. Larangan tersebut tentunya mengikat juga bagi anak usaha BUMN yang notabene-nya merupakan badan hukum privat. Namun demikian, untuk sengketa perdata yang dihadapi oleh Pemerintah RI, JPN tetap memiliki kewenangan mewakili Pemerintah RI. (WG)
Seri Hukum Acara Pidana dan Perdata – Paralegal Tidak Dapat Menjalankan Profesi sebagai Advokat
Dalam Newsletter edisi Maret 2018 telah dibahas mengenai Paralegal sebagai profesi baru yang menyaingi profesi Advokat. Paralegal dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 1 Tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum (“Permenkumham 1/2018”) yang berlaku efektif pada tanggal 26 Januari 2018. Permenkumham 1/2018 tersebut merupakan turunan dari UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Berbeda dengan Advokat yang bersifat independen, Paralegal dibentuk dibawah Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), minimal berusia 18 tahun, tidak harus lulusan Sarjana Hukum, cukup mengikuti pelatihan dan mendapat Sertifikat, serta tidak perlu disumpah oleh Pengadilan Tinggi. Setelah melalui proses tersebut selanjutnya Paralegal dapat beracara di dalam maupun diluar Pengadilan. Perbedaan perlakuan ini yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan Advokat dan juga masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum mengenai kelayakan Paralegal dalam penanganan perkara hukum pidana, perdata, TUN, maupun perkara lainnya.
Oleh karenanya, tidak lama setelah penerbitannya, sejumlah Advokat mengajukan judicial review atas Permenkumham 1/2018 tersebut terhadap UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (“UU Advokat”) ke Mahkamah Agung (MA). Ketentuan Permenkumham 1/2018 yang diuji meliputi Pasal 4 (syarat Paralegal), Pasal 7 (lembaga pelatihan Paralegal), Pasal 11 dan Pasal 12 (Paralegal dapat menjalankan profesi Advokat dalam lingkup litigasi dan non litigasi, baik pidana, perdata hingga perkara Tata Usaha Negara/TUN).
Atas permohonan judicial review tersebut, MA melalui putusannya Nomor 22 P/HUM/2018 tanggal 31 Mei 2018 telah menjatuhkan putusannya yang menyatakan Pasal 11 dan 12 Permenkumham 1/2018 bertentangan dengan UU Advokat dan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”). MA menilai ketentuan normatif yang dapat beracara di Pengadilan diatur dalam Pasal 4 jo. Pasal 31 UU Advokat yakni hanya Advokat yang telah bersumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi, sedangkan Paralegal dalam Permenkumham 1/2018 tidak disumpah. Artinya Pasal 11 dan 12 Permenkumham 1/2018 terbukti bertentangan dengan UU Advokat. Oleh karena materi muatan Pasal 11 dan 12 Permenkumham 1/2018 bertentangan dengan UU Advokat, maka Pasal 11 dan 12 Permenkumham 1/2018 juga bertentangan dengan asas lex superior derogat lex inferior (ketentuan yang lebih rendah bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi) sebagaimana Pasal 5 dan 6 UU 12/2011. Namun untuk Pasal 4 dan Pasal 7 Permenkumham 1/2018, MA menilai dua ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan UU Advokat karena fungsi Paralegal adalah membantu tugas-tugas legal dari Advokat, sehingga syarat-syarat untuk menjadi Paralegal dan penyelenggara pelatihannya berbeda dengan Advokat, dan karenanya dianggap tidak bertentangan dengan UU Advokat. (WG)