VOL. XIV — AGUSTUS 2018

Seri Hukum Perkawinan – Perbedaan Hak yang Dapat Diperoleh Istri Bila Mengajukan Gugatan Cerai dan Dicerai Talak oleh Suami Menurut Kompilasi Hukum Islam

Setiap orang yang sudah menikah menginginkan rumah tangganya langgeng sampai maut memisahkan. Namun demikian, terkadang perceraian tidak dapat dihindari. Ketika perceraian merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk menyelesaikan konflik dalam rumah tangga, ada beberapa hal yang harus dijadikan pertimbangan dalam mengajukan gugatan perceraian, terutama apabila seorang istri yang akan mengajukan gugatan perceraian.

Di dalam Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa “putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”. Pengertian talak menurut Pasal 117 KHI disebutkan bahwa “Talak adalah ikrar Suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan”. Sedangkan dalam Pasal 132 KHI disebutkan bahwa “gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama….”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dapat diartikan bahwa perkawinan putus karena Talak yang diajukan oleh Suami terhadap Istri melalui bantuan Pengadilan Agama, dan perkawinan putus karena Gugatan Cerai yang diajukan Istri terhadap Suami melalui bantuan Pengadilan Agama.

KHI mengatur tata cara putusnya perkawinan, baik yang diajukan melalui permohonan Cerai Talak oleh Suami ataupun Gugatan Cerai oleh Istri. Sedangkan mengenai kewajiban Suami terhadap Istri akibat putusnya perkawinan, KHI hanya mengatur kewajiban Suami terhadap Istri apabila putusnya perkawinan terjadi karena Talak sebagaimana diatur dalam Pasal 149 KHI yang menyatakan “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut’ah yang layak kepada bekas Istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas Istri tersebut qobla al dukhul, b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas Istri selama dalam iddah…”. Merujuk ketentuan tersebut, hak-hak Istri yang ditalak oleh Suaminya sudah diatur dengan jelas, sehingga Istri dapat menuntut hak-hak yang seharusnya diperoleh. Lain halnya apabila Istri yang mengajukan Gugatan Cerai, KHI tidak mengatur mengenai kewajiban Suami terhadap Istri apabila Istri yang mengajukan Gugatan Cerai, sehingga sulit bagi Istri untuk dapat menuntut hak-haknya.

Namun demikian, dalam praktiknya, apabila Istri yang mengajukan Gugatan Cerai, dimungkinkan Istri mendapatkan haknya berupa nafkah iddah dan nafkah mut’ah. Ini sebagaimana Putusan Pengadilan Tinggi Agama Samarinda No. 12/Pdt.G/2012/PTA.Smd tertanggal 23 April 2012, yang pada pokoknya mengabulkan permintaan nafkah iddah dan mut’ah oleh Penggugat (istri). Sejalan dengan itu adalah Putusan Mahkamah Agung RI No. 137K/AG/2007 yang mengabulkan nafkah iddah, Putusan Mahkamah Agung RI No. 276K/AG/2010 yang mengabulkan nafkah mut’ah dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor 27/Pdt.G/2011/PTA.Bdg tanggal 21 Maret 2011 yang mengabulkan nafkah iddah dan mut’ah dalam putusan verstek (tanpa dihadiri oleh Tergugat/suami).

Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor 27/Pdt.G/2011/PTA.Bdg tanggal 21 Maret 2011 dalam salah satu pertimbangannya menyatakan “…, oleh karenanya wajar meskipun istri yang mengajukan gugat cerai, secara ex officio suami dihukum untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas istri yang harus menjalani masa iddah yang tujuannya antara lain untuk istibra’ yang juga menyangkut kepentingan suami (Putusan MA No.137 K/AG/2007 tanggal 19 September 2007), yang besarnya nafkah iddah tersebut akan ditetapkan dalam amar putusan ini, sesuai kebutuhan hidup minimum di daerah tempat tinggal Penggugat, berdasarkan kepatutan dan rasa keadilan.” (NO)

 


Seri Hukum Kepailitan – Upaya Hukum Kreditor yang Tidak Terdaftar atau Tidak Mengajukan Tagihan Dalam PKPU

Pada saat debitor dinyatakan dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Putusan Pengadilan Niaga,acapkali kreditor lalai dalam mengajukan tagihan kepada Pengurus yang ditunjuk, baik karena tidak mendapat surat pemberitahuan dari debitor mengenai keadaan PKPU tersebut atau karena luput dalam mengakses media cetak (koran) dimana pengumuman PKPU tersebut dilakukan. Hingga akhirnya PKPU debitor tersebut berakhir dengan perdamaian (homologasi). Implikasinya, kreditor menjadi kehilangan haknya untuk mengajukan tagihan kepada debitor, tidak dapat memberikan suara/voting atas proposal perdamaian dari debitor, dan tidak dapat melakukan negosiasi mengenai proposal perdamaian yang diajukan debitor. Lantas apa upaya hukum yang dapat diajukan oleh kreditor?

Berdasarkan Pasal 286 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“UU Kepailitan”), “Perdamaian yang telah disahkan mengikat semua kreditor, kecuali kreditor yang tidak menyetujui rencana perdamaian sebagaimana dalam Pasal 281 ayat (2)”. Artinya, selain kreditor yang menolak perdamaian, seluruh kreditor termasuk yang kreditor yang tidak mengajukan tagihannya terikat pada proposal perdamaian dari debitor. Oleh karena terikat, maka tata cara penyelesaian tagihannya tunduk pada yang sudah ditentukan di dalam rencana perdamaian yang sudah disahkan (dihomologasi) oleh pengadilan niaga. Dengan demikian tagihan kreditor tidak hilang dan debitor wajib memenuhi tagihan tersebut sesuai jangka waktu yang ditentukan di dalam proposal perdamaian yang telah dihomologasi. Bagaimana bila debitor tidak melaksanakan proposal perdamaian tersebut?

Berdasarkan Pasal 291 jo. 170 ayat (1) UU Kepailitan, kreditor berhak menuntut pembatalan perdamaian bila debitor lalai memenuhi isi perdamaian. Artinya, kreditor yang tidak mengajukan tagihannya dapat mengajukan permohonan pembatalan perdamaian terhadap debitor ke pengadilan niaga dengan alasan debitor cidera janji. Debitor sendiri dalam Pasal 170 ayat (2) UU Kepailitan wajib membuktikan bahwa proposal perdamaian telah dipenuhi. Bila debitor terbukti cidera janji, maka menurut Pasal 291 ayat (2) UU Kepailitan debitor otomatis dinyatakan dalam keadaan pailit.

Meski demikian, permohonan pembatalan perdamaian bukan satu-satunya upaya bagi kreditor yang tidak mengajukan tagihan untuk mendapatkan penyelesaian atas tagihannya kepada debitor. Berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 18/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst., dalam salah satu pertimbangannya dinyatakan bahwa “disamping dengan proses PKPU, kreditor untuk menagih hutangnya juga bisa diajukan gugatan perdata (wanprestasi)”. Dari pertimbangan tersebut dapat dimaknai bahwa kreditor yang tidak mengajukan tagihannya juga berhak mengajukan gugatan perdata terhadap debitor ke pengadilan negeri di wilayah domisili hukum debitor atau pengadilan negeri yang disepakati oleh para pihak di dalam perjanjian. (WG)