VOL. XII — JUNI 2018

Seri Hukum Pidana – Mengutip Ucapan Yang Memuat Ujaran Kebencian Bukan Tindak Pidana?

Ucapan/Perkataan yang memuat unsur ujaran kebencian dapat menjadi penyebab seseorang dipidana seperti kasus Basuki Tjahaya Purnama dan Asma Dewi. Ucapan yang memuat ujaran kebencian yang mengandung unsur SARA antara lain diatur dalam Pasal 156, 156a, dan 157 KUHP serta Pasal 28 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi, Transaksi dan Elektronik (“UU ITE”). Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan tersebut dapat dipidana menurut ketentuan-ketentuan tersebut dan diancam dengan hukuman penjara dan/atau denda. Lalu bagaimana bila ucapan/perkataan yang mengandung ujaran kebencian tersebut merupakan kutipan dari perkataan/ucapan orang lain? Alfian Tanjung, seorang pemuka agama yang berasal dari Surabaya, dilaporkan oleh Tanda Pardamaian, orang yang menerima mandat dari Sekjen PDIP, ke Polda Metro Jaya terkait akibat ucapan/perkataannya di media sosial twitter dengan akun @alfiantmf yang menyebut “PDIP 85% isinya kader PKI”. Akibat dari perbuatannya menyebarkan informasi yang mengandung unsur SARA tersebut, Alfian Tanjung ditetapkan sebagai tersangka dan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Alfian Tanjung didakwa sebagai pelaku ujaran kebencian melalui media elektronik menurut Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Kasus ujaran kebencian Alfian Tanjung diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dibawah perkara No. 1521/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Pst. Hakim yang mengadili perkaranya memvonis Alfian Tanjung lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging). Majelis Hakim berpendapat bahwa Alfian Tanjung terbukti melakukan perbuatannya, namun perbuatannya tersebut bukan tindak pidana. Sebab Alfian Tanjung hanya mengutip informasi dari satu media yang tidak terdaftar di Dewan Pers maupun kata-kata dari tulisan politisi PDIP Dr. Ribka Tjiptaning dalam bukunya yang berjudul “Aku Bangga Jadi Anak PKI”. Sehingga dapat diartikan bahwa perbuatan ujaran kebencian yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dihasilkan dari pemikirannya sendiri secara sadar dan tidak mengutip atau meng-copy-paste dari tulisan/pendapat orang lain. Meski demikian, putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap dan masih ditengah upaya kasasi oleh jaksa ke Mahkamah Agung. (AST)

 


 

Seri Hukum Ketenagakerjaan – Konstitusionalitas Ketentuan Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Pasal 59 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) kembali diuji di Mahkamah Konstitusi dengan alasan tidak menjamin kepastian hukum. PKWT di dalam implementasinya dipandang tidak mengatur sanksi mengenai kewajiban pengusaha untuk mencatatkan PKWT dan pemeriksaan PKWT yang dicatatkan pengusaha oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan telah menimbullkan ketidakpastian hukum. Dalam Putusan Nomor 6/PUU-XVI/2018 tanggal 31 Mei 2018, Mahkamah Konstitusi menolak alasan tersebut dengan argumentasi bahwa PKWT dapat dibenarkan selama memenuhi syarat dalam Pasal 59 UU 13/2003, bukan hanya syarat mengenai jenis pekerjaannya, namun juga syarat Pasal 57, Pasal 58 dan keseluruhan Pasal 59 UU 13/2003. Pertimbangan tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012 yang menyatakan bahwa “jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 59 Undang-Undang a quo hal itu merupakan persoalan implementasi dan bukan persoalan konstitusionalitas norma yang dapat diajukan gugatan secara perdata ke peradilan lain. Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal 59 UU 13/2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945”.

Terkait dengan pencatatan PKWT, sebenarnya telah diatur dalam Kepmenakertrans Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT khususnya Pasal 13 yang menyatakan “PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan”. Dilalaikannya ketentuan tersebut akan berakibat pada perubahan PKWT menjadi PKWTT (Pasal 15). Dalam hal ternyata substansi PKWT tidak dinilai oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan atau tidak adanya sanksi bagi pengusaha yang tidak mencatatkan PKWT ke pegawai pengawas ketenagakerjaan, maka sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014 tanggal 4 November 2015 pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan ke Pengadilan Negeri setempat dengan syarat telah dilakukan perundingan bipartit namun tidak tercapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding, dan telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan. Artinya, PKWT harus dicatatkan dalam waktu 7 hari kerja namun keberlakuannya tidak menunggu hasil pemeriksaan atas terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat pembuatan perjanjian kerja tersebut oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (WG)

 


Seri Hukum Kesehatan – Hukum Aborsi di Indonesia

Baru-baru ini, terungkap seorang nenek bernama Yamini berusia 70 tahun dan berprofesi sebagai dukun pijat telah melakukan praktik jasa aborsi selama ± 25 tahun di Magelang, dengan tarif Rp 2 juta, dan korbannya mencapai puluhan wanita. Aborsi sendiri dilarang di Indonesia sebagaimana Pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Namun, dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan aborsi diperbolehkan jika indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan, atau kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Pasal 76 UU Kesehatan mengatur beberapa kriteria dalam melakukan aborsi yaitu, aborsi dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan, dengan izin suami, kecuali korban perkosaan, dan penyedia layanan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Menurut Pasal 194 UU Kesehatan, setiap orang yang sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan tersebut dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar. Selain itu, pelaku aborsi juga dapat dijerat dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagai bentuk kekerasan terhadap anak. Menurut Pasal 80 ayat (3) UU Perlindungan Anak, setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak yang menyebabkan anak itu mati maka pelaku dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun, dan/atau denda maksimal Rp 3 miliar. Dalam Pasal 80 ayat (4) UU Perlindungan Anak, pidana ditambah sepertiga bila yang melakukan penganiayaan tersebut orangtuanya. Artinya, tidak hanya pelaku praktik aborsi, ibu dari janin tersebut juga bisa dijerat dengan sanksi pidana. Ini sebagaimana Putusan PN Kuningan No. 118/Pid.Sus/2014/PN.KNG tanggal 20 November 2014 yang menjatuhkan pidana penjara 7 bulan dan denda Rp 10 juta subsider kurungan satu bulan kepada Miranti (ibu dari janin tersebut) karena terbukti melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan aborsi” dan melanggar Pasal 194 UU Kesehatan dan Pasal 80 ayat (3) dan (4) UU Perlindungan Anak. (RA/WG)