Month: July 2019

Month: July 2019

VOL. VII — JANUARI 2018

Seri Hukum Keluarga – Menikah dengan Teman Sekantor Sah!

Fenomena larangan menikah dengan teman sekantor telah lama menjadi perdebatan bagi kalangan karyawan/pekerja. Larangan tersebut tegas diatur dalam Pasal 153 (1) huruf f UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”. Pasal tersebut kemudian diajukan judicial review oleh 8 karyawan PLN ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan hak warga negara membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah sebagaimana dijamin Pasal 28B (1) dan 28D (2) UUD 1945.

MK melalui Putusan No. 13/PUU-XV/2017 kemudian menyatakan frasa “kecuali yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” di dalam Pasal 153 (1) huruf f UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945. MK menimbang, ketentuan Pasal 153 (1) huruf f UU 13/2003 membawa konsekuensi bahwa pengusaha akan melakukan pelarangan adanya perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan, sehingga ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28B (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut juga menghilangkan jaminan kerja para Pemohon dan hak atas penghidupan yang layak serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja yang dijamin oleh Pasal 28D (1) UUD 1945. Jika perusahaan beralasan bahwa ketentuan demikian adalah penting untuk mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme, alasan tersebut tidak dapat diterima sebab terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah tergantung pada mentalitas seseorang. Konsekuensi dari putusan MK ini adalah membolehkan pekerja untuk menikahi teman satu kantornya. (RA)

 


Seri Hukum Hak Kekayaan Intelektual – Hapusnya Hak Merek Bila Tidak Digunakan Pemiliknya Selama 3 Tahun

Merek yang tidak digunakan oleh pemiliknya selama 3 tahun berturut-turut dihapus dari Daftar Umum Merek, demikian yang dapat disimpulkan dari Pasal 61 ayat (2) huruf (a) UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek (UU 15/2001). Ketentuan ini menjadi salah satu dasar dihapusnya merek “IKEA” untuk kelas barang/jasa 20 dan 21 oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagaimana Putusan Nomor 99/PDT.SUS-MEREK/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 17 September 2014. Adalah PT Ratania Khatulistiwa yang mengajukan gugatan penghapusan merek “IKEA” kelas 20 dan kelas 21 yang dipegang oleh Inter IKEA System B.V. Sebagaimana diketahui, merek kelas barang/jasa 20 terdiri dari perabot rumah, kaca, bingkai; benda-benda (tidak termasuk dalam kelas lain) dari kayu, gabus, rumput, bambu, rotan, tanduk, tulang, gading, tulang ikan paus, kerang, amber, kulit mutiara, selloid dan dari bahan-bahan penggantinya, atau dari plastik. Sedangkan merek kelas barang/jasa 21 terdiri dari perkakas rumah tangga atau dapur dan wadah kecil (bukan dari logam mulia atau bukan sepuhan logam mulia); sisir dan bunga karang; sikat (kecuali kuas melukis); bahan-bahan pembuatan sikat; perkakas dan alat untuk membersihkan; kulit besi untuk menggosok; kaca yang belum dikerjakan atau dikerjakan sebagian (kecuali kaca yang digunakan dalam gedung); barang pecah belah, porselin dan barang-barang tembikar tidak termasuk dalam kelas lain.

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, berdasarkan Pasal 61 ayat (2) huruf (a) UU 15/2001 dan pembuktian di persidangan, kemudian menilai bahwa merek dagang IKEA untuk kelas barang/jasa 21 dan 20 tidak digunakan oleh Inter IKEA System B.V. selama tiga tahun beruturut-turut sejak merek dagang tersebut terdaftar. Oleh karenanya, berdasarkan Pasal 61 ayat (2) huruf (a) UU 15/2001 tersebut, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan menghapus merek “IKEA” untuk kelas barang/jasa 20 dan 21 yang dipegang oleh Inter IKEA System B.V. dengan segala akibat hukumnya. Putusan tersebut kemudian dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No. 264 K/Pdt.Sus-HKI/2015 tanggal 12 Mei 2015. Kini, UU 15/2001 telah dicabut dan diganti dengan UU No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU 20/2016), dan Pasal 61 ayat (2) huruf (a) UU 15/2001 pun telah diubah menjadi Pasal 74 ayat (1) UU 20/2016 mengenai penghapusan merek oleh pihak ketiga yang berkepentingan melalui gugatan ke Pengadilan Niaga. (RA/WG)

 


Seri Hukum Pidana — Pidana Memalsukan Surat Keterangan Sakit

Menurut UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), sakit merupakan alasan yang sah bagi pekerja untuk tidak masuk kerja. Pasal 93 ayat (2) jo. Pasal 153 UU Ketenagakerjaan bahkan menjamin hak pekerja untuk tetap menerima upah meskipun dalam keadaan sakit, dan karenanya tidak dapat dijadikan alasan untuk memutuskan hubungan kerja (PHK). Namun demikian, kondisi sakitnya pekerja harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter, sebagaimana Penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf (a) UU Ketenagakerjaan. Namun, bagaimana bila surat keterangan saksi tersebut ternyata palsu atau dipalsukan?

Memalsukan surat keterangan sakit atau surat keterangan dokter sebenarnya merupakan fenomena lama yang tidak dipahami pekerja sebagai suatu tindak pidana/kejahatan, karenanya lazim terjadi. Faktanya, memalsukan surat keterangan sakit merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 268 KUHP yang menyatakan “barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung diancam dengan pidana penjara selama 4 tahun”. Bila pelakunya adalah dokter, maka dapat dikenakan Pasal 267 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Meski merupakan tindak pidana, kasus-kasus pemalsuan surat keterangan dokter hampir jarang terdengar. Namun belakangan kasus pemalsuan surat keterangan dokter atau surat keterangan sakit kembali marak terdengar. Pada tahun 2016, dokter yang merawat terdakwa Eunike Lenny Silas diduga memberikan keterangan palsu mengenai kondisi medis terdakwa, namun tidak berlanjut. Pada akhir tahun 2017, dokter yang merawat tersangka Setya Novanto juga diduga membuat keterangan palsu mengenai kondisi medis tersangka pasca tabrakan, namun oleh KPK disangkakan dengan pasal merintangi penyidikan. Terakhir pada Januari 2018, Penyidik Bareskrim Mabes POLRI menangkap sindikat pelaku jasa pemalsuan surat keterangan dokter dengan modus memperjualbelikan surat keterangan sakit palsu melalui jejaring media sosial facebook dan instagram. Tidak tanggung-tanggung, pelakunya disangkakan dengan ketentuan berlapis antara lain Pasal 268 KUHP, Pasal 77 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (mengaku sebagai dokter), dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE (menyebarkan berita bohong dan menyesatkan melalui dokumen elektronik). (RA/WG)

 

VOL. VI — DESEMBER 2017

Seri Hukum Keluarga – Perjanjian Perkawinan Bisa Dibuat Sebelum dan Selama Perkawinan

Seorang Klien terkejut ketika disarankan untuk membuat Perjanjian Perkawinan. Asumsinya, karena Ia sudah menikah, untuk membuat Perjanjian Perkawinan, maka Ia harus bercerai dengan istrinya terlebih dahulu karena di dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-undang Perkawinan (“UU Perkawinan”) disebutkan “Perjanjian Perkawinan dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan….”. Pada tanggal 11 Mei 2015, seorang Ibu/Istri bernama Ike Farida mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 29 UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi. Atas permohonan uji materi tersebut, Mahkamah Konstiusi dalam Putusan No. 69/PUU-XIII/2015 tanggal 27 Oktober 2016 menyatakan bahwa “Pasal 29 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis …..”.

Dengan adanya putusan tersebut, Pasal 29 UU Perkawinan telah mengalami perluasan makna, terutama mengenai jangka waktu untuk membuat Perjanjian Perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menegaskan dan mengatur lebih lanjut mengenai Perjanjian Perkawinan yang dapat dilakukan pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan. Putusan ini memungkinkan setiap pasangan suami istri untuk membuat Perjanjian Perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan, jika diperlukan. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perjanjian Perkawinan ini sangat positif dan diperlukan. Tidak dapat dipungkiri, pasangan yang akan melangsungkan perkawinan seringkali menganggap tidak perlu membuat Perjanjian Perkawinan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pasangan tersebut kemudian merasa perlu untuk melakukan Perjanjian Perkawinan. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka keinginan pasangan suami istri untuk membuat Perjanjian Perkawinan selama dalam ikatan perkawinan dapat dilakukan. (NO)

 


Seri Hukum Pidana – Sanksi Pidana Bagi Pelaku Nikah Siri

Fenomena kawin siri selalu menjadi bahan perdebatan hangat bagi kaum pria maupun wanita. Nikah siri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin (pengurus, pencatat kematian serta segala sesuatu yang berhubungan dengan nikah, cerai, talak, rujuk) dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama. Menurut Islam, pernikahan tersebut sah. Namun yang seringkali terjadi, nikah siri dilakukan oleh seorang suami yang sudah mempunyai Isteri, bahkan sudah mempunyai anak. Dalam hal ini, Isteri dan anak adalah pihak yang paling dirugikan, baik secara moril maupun materiil. Menghadapi suami yang melakukan pernikahan siri, acapkali membuat Isteri tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan dalam beberapa kasus, suami yang menikah siri tersebut meninggalkan Isteri sahnya untuk tinggal bersama Isteri siri.

Terhadap persoalan ini, ada yang menarik dan perlu diketahui bersama bahwa Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran No. 4 tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (“SEMA 04/2016”). Dalam SEMA 04/2016, Mahkamah Agung menyatakan “perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang suami dengan perempuan lain sedangkan suami tersebut tidak mendapatkan izin istri untuk melangsungkan perkawinan lagi, maka Pasal 279 KUHPidana dapat diterapkan”. Pasal 279 KUHPidana sendiri terbagi ke dalam tiga rumusan delik, yakni (i) melakukan nikah siri padahal mengetahui pernikahan yang ada menjadi penghalang, (ii) melakukan nikah siri padahal mengetahui penikahan pihak lain menjadi penghalang, (iii) melakukan nikah siri dengan menyembunyikan pernikahan yang telah ada. Sanksinya pun berragam antara 5-7 tahun.
Pasal 279 KUHPidana menyatakan:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Pencabutan hak berdasarkan pasal No. 1 – 5 dapat dinyatakan.

Merujuk Pasal 279 KUHPidana, maka nikah siri sebenarnya dilarang menurut hukum Indonesia. Beberapa putusan pengadilan yang menghukum pelaku tindak pidana nikah siri seperti Putusan Pengadilan Negeri Luwuk No. 47/Pid.B/2006/PN.LWK tanggal 13 Nopember 2006, Putusan Pengadilan Negeri Blitar No.497Pid.Sus/2014./PN.Blt tanggal 19 Januari 2015, Putusan Pengadilan Negeri Pandeglang No. 239/Pid.B/2011/PN.Pdg tanggal 15 Maret 2012, meskipun adapula putusan perkara lainnya yang dinyatakan tidak terbukti bersalah. Namun demikian dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) poligami dibolehkan. Ini karena Pasal 3, 4, 5 UU Perkawinan mensyaratkan adanya persetujuan dari istri(-istri) dan/atau izin dari pengadilan untuk melakukan poligami. Jadi, pilih nikah siri atau poligami? (NO).

 


 

Seri Hukum Perbankan — Sistem “BI Checking” Menjadi Wewenang OJK

Bank Indonesia mengalihkan fungsi pengaturan, pengelolaan dan pengawasan Sistem Informasi Perkreditan (SIP) kepada OJK. Pengalihan fungsi ini sudah melalui masa transisi sejak 31 Desember 2013, dengan berjalannya pelaporan Sistem Informasi Debitur (SID) yang dikelola BI dan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang dikelola OJK. Penyelenggaraan kegiatan pelaporan dan permintaan informasi debitur melalui SLIK dapat dimanfaatkan untuk memperlancar proses penyediaan dana, penerapan manajemen risiko, penilaian kualitas debitur, dan meningkatkan disiplin industri keuangan.

Pengaturan mengenai teknis pelaporan dan permintaan informasi debitur melalui system layanan informasi keuangan diatur dalam Peraturan OJK No. 18/POJK.03/2017 dan Surat Edaran OJK No. 50/SEOJK.03/2017. Pihak yang wajib menjadi pelapor adalah bank umum, BPR, BPRS, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya yang memberikan fasilitas penyediaan dana kecuali lembaga keuangan mikro. POJK tersebut mengatur tiga sanksi terhadap lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan nonbank jika tidak menggunakan SLIK. Sanksinya berupa kewajiban membayar, penutupan akses lembaga keuangan ke SLIK, serta sanksi terkait tindakan pengawasan terhadap pelapor. (RA)

VOL. V — NOVEMBER 2017

Seri Hukum Pidana — Kepemilikan Senjata Api Oleh Warga Sipil

Pada 9/11/2017 terjadi insiden dr. Ryan Helmi menembak istrinya dr. Letty Sultri hingga tewas di Klinik Azzahra, Cawang, Jakarta Timur. Helmi dan Letty terlibat pertengkaran hebat hingga akhirnya Helmi menembak istrinya sebanyak 6 kali hingga tewas di lokasi kejadian. Hal ini sangat meresahkan dan menimbulkan pertanyaan mengapa Helmi membawa senjata api saat bertemu dengan istrinya. Bagi sebagian orang, kepemilikan senjata api merupakan keharusan dengan alasan untuk keselamatan diri. Tidak sembarang orang bisa membawa senjata api. Peraturan mengenai senjata telah diatur di UU Darurat 12/1951, UU 8/1948 dan Perppu 20/1960, Surat Keputusan Kapolri (SKEP) No.244/II/1999, dan Surat Keputusan Kapolri No.82/II/2004.

Mengacu SKEP Kapolri No. 82/II/2004 ada syarat yang harus dipenuhi warga sipil bila ingin memiliki senjata api yaitu: minimal berusia 24 tahun dan maksimal 65 tahun, sehat jasmani rohani dan psikologisnya yang ditetapkan oleh dokter RS Polri, memiliki keterampilan penggunaan senjata api yang dibuktikan oleh sertifikat menembak yang disahkan oleh Polri (pejabat Polri yang ditunjuk), memiliki keterampilan dalam merawat, menyimpan dan mengamankan senjata api sehingga terhindar dari penyalahgunaan senjata api, melampirkan syarat administratif seperti SKCK, SIUP besar atau Akta pendirian perusahaan PT, CV, PD (CV dan PD sebagai pemilik perusahaan atau ketua organisasi), surat keterangan jabatan atau surat keputusan pimpinan, lulus screening yang dilaksanakan oleh Direktorat Intelkam Polda, daftar riwayat hidup secara lengkap, dan pas foto berwarna berlatar belakang warna merah ukuran 2×3 dan 4×6 sebanyak 5 lembar. Dalam SKEP tersebut juga dijelaskan warga sipil yang bisa memiliki senjata api hanya kalangan tertentu seperti direktur utama, komisaris, menteri, pejabat pemerintah, pengacara dan dokter. (RA)


Seri Hukum Pertanahan – Konsinyasi Sebagai Upaya Penyelesaian Masalah Ganti Rugi Tanah

Akhir-akhir ini pemerintah banyak melakukan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan toll, waduk, jalan layang dan jalur Kereta Api yang tentunya banyak menyinggung tanah warga dan menimbulkan masalah dalam ganti ruginya. Acapkali tanah yang akan dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum statusnya tidak jelas, baik karena tidak diketahui siapa pemiliknya ataupun karena tanah tersebut masih dalam sengketa antara para pihak. Akan permasalahan ini, ada mekanisme hukum yang disebut dengan konsinyasi yang diatur dalam Pasal 1404-1412 KUHPerdata. KUHPerdata tidak mendefinisikan apa itu konsinyasi, namun dari pengertian yang ada dapat disimpukan bahwa Konsinyasi (Consignatie) adalah “Penitipan uang atau barang pada pengadilan guna pembayaran satu utang. Penawaran pembayaran yang disusul dengan penitipan pada pengadilan membebaskan debitur asal dilakukan dengan cara-cara yang sah menurut undang-undang”.

PERMA Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Rugi ke Pengadian Negeri Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum memberikan pedoman bila pemilik tanah yang berhak menerima ganti rugi tidak diketahui keberadaannya ataupun tanah yang akan diganti rugi masih dalam sengketa, maka konsinyasi dapat menjadi pilihan bagi debitor untuk menitipkan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri untuk kemudian dicatat dalam Buku Register Konsinyasi. Bagi pemilik tanah yang tidak diketahui keberadaannya, wajib dilakukan pemberitahuan kepada Camat dan Lurah/Kepala Desa, dan ganti rugi tidak dapat diberikan hingga pemilik tanah diketahui keberadaannya. Bagi tanah yang masih dalam sengketa, ganti rugi dapat diberikan kepada pihak yang berhak bila putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap. (AST)


Seri Hukum Kependudukan — Penghayat Kepercayaan Bisa Masuk Kolom Agama di KTP

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 menyatakan Pasal 61 ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU 23/2006 jo. UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal-pasal tersebut dipandang diskriminatif bagi penghayat kepercayaan karena kolom agama di KTP dan KK bagi penghayat kepercayaan tidak boleh diisi dengan kepercayaan yang dianutnya (dikosongkan). Diskriminasi lainnya bagi penghayat kepercayaan adalah tidak terkadomodirnya pendidikan kepercayaan di sekolah-sekolah, perkawinan yang tidak diakui oleh negara, kesulitan dalam mendaftar TNI dan CPNS, dan kesulitan dalam mendapat pelayanan publik seperti SIM, BPJS, izin usaha, dan lainnya.

Pasal 61 UU 23/2006 jo. UU 24/2013 menyatakan:
(1) KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua.
(2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan

Pasal 64 UU 23/2006 jo. UU 24/2013 menyatakan:
(1) KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el.
(5) Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

MK berpendapat, pasal-pasal tersebut diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena dinilai tidak memiliki kepastian hukum dan tidak menjamin hak jaminan kesamaan warga negara di hadapan hukum. Untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan maka MK memerintahkan pencantuman data tentang agama bagi penghayat kepercayaan agar dicatatkan sebagai “penghayat kepercayaan” tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK dan KTP elektronik. (RA)

VOL. IV — OKTOBER 2017

Seri Hukum Pidana — Putusan Praperadilan Setya Novanto

Jumat, 29 September 2017, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar mengabulkan Gugatan Praperadilan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel. yang diajukan oleh Setya Novanto, Ketua Umum Golkar yang juga Tersangka tindak pidana korupsi e-KTP. Hakim Cepi menilai penetapan Setya Novanto sebagai Tersangka di awal penyidkan adalah keliru karena seharusnya di akhir penyidikan suatu perkara sebagai bentuk perlindungan bagi hak-hak tersangka. Selain itu, alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk perkara selanjutnya. Dengan pertimbangan tersebut, Hakim Cepi menyatakan penetapan Setya Novanto sebagai tersangka oleh KPK dibatalkan. Konsekuensinya, KPK tidak dapat mengajukan upaya hukum apapun atas putusan tersebut ke Mahkamah Agung, termasuk Peninjauan Kembali (PK). Namun, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (MA) No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Peradilan, khususnya Pasal 2 ayat (3), KPK berwenang menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka dengan syarat telah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, yang mana alat bukti tersebut berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.

Terlepas dari pro-kontra atas putusan tersebut, pertimbangan putusan tersebut telah memunculkan norma baru yakni “penetapan tersangka harus dilakukan di akhir penyidikan”. Artinya, pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan pengumpulan alat bukti agar diperoleh bukti permulaan yang cukup harus dipenuhi di awal penyidikan sebelum penetapan tersangka dilakukan.

 


Seri Hukum Pidana – Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi

Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi telah menegaskan dan mengatur lebih lanjut mengenai Korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana korupsi. Terbitnya Perma ini sudah sangat dinanti oleh penegak hukum, karena selama ini penerapan/pengenaan Korporasi sebagai pelaku dalam tindak pidana, khususnya korupsi masih sering terkendala dengan dalih hukum acara yang tidak jelas, hukum materilnya saling bertentangan, dan kendala-kendala lainnya. Oleh sebab itu, meskipun pemidanaan korporasi sudah diatur di berbagai undang-undang, namun pengenaan Korporasi sebagai pelaku tindak pidana masih sangat minim. Bahkan sebelum terbitnya PERMA ini, khusus dalam ranah tindak pidana korupsi pengenaan Korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi sama sekali belum pernah terjadi. Hal tersebut salah satunya akibat dari mekanisme dan tata cara (formiil) penanganannya yang belum memadai.

Atas hal tersebutlah Mahkamah Agung kemudian menerbitkan Perma ini, dimana tujuannya antara lain menegaskan dan menjelaskan kepada aparat penegak hukum dan lembaga Pengadilan tentang bagaimana tata cara penanganan bagi korporasi yang diduga melakukan tindak pidana. Perma ini mengatur jika sebuah korporasi diduga melakukan tindak pidana, maka penegak hukum dapat meminta pertanggungjawaban hukum kepada seseorang yang tercatat pada akta korporasi sebagai penanggung jawab korporasi itu, misalnya, direktur utama atau direksi. Sedangkan khusus terhadap koorporasinya, hanya dapat dikenakan denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, jika korporasi itu tidak sanggup membayar denda yang dikenakan, maka aset korporasi itu akan disita sebagai ganti kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidananya dengan mekanisme lelang. Terbitnya PERMA tersebut seolah dijadikan momentum bagi aparat penegak hukum untuk dapat menyasar korporasi yang selama ini terseret pusaran korupsi. Hal tersebut sebagaimana terjadi pada PT Duta Graha Indah atau PT Nusa Konstruksi Engineering yang telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Ditetapkannya PT Duta Graha Indah atau PT Nusa Konstruksi Engineering sebagai tersangka, merupakan pertama kalinya korporasi dijadikan tersangka oleh aparat penegak hukum khusus dalam ranah tindak pidana korupsi. Perkara ini sendiri masih bergulir di KPK dan belum masuk ke persidangan.

 


Seri Hukum Tata Negara — PERPPU Pembubaran Ormas

PERPPU No. 2 Tahun 2017 ini merupakan ketentuan Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Salah satu esensi perubahan tersebut adalah mengenai larangan-larangan untuk ormas dan sanksi yang dapat diberikan. Secara umum, ketentuan mengenai larangan-larangan dalam PERPPU tersebut adalah sama dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, namun dalam PERPPU tersebut terdapat beberapa tambahan larangan-larangan untuk ormas yang diatur dan dikelompokkan secara berbeda. Pengelompokan ini terkait dengan penjatuhan sanksi yang akan diberikan bila ormas melanggarnya. Larangan-larangan untuk ormas tersebut diatur dalam Pasal 59 ayat (1) sampai (4) PERPPU ini, diantaranya melarang penggunaan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan atribut lembaga pemerintahan [Pasal 59 Ayat (1) ], melarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan [Pasal 59 Ayat (3)], melarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila [Pasal 59 Ayat (4)].

Terhadap ormas yang melanggar ketentuan larangan PERPPU tersebut, Pemerintah dapat menjatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan klasifikasinya. Sanksi administratif bagi ormas berbadan hukum yang terdaftar di Kemenhumkam adalah pencabutan status badan hukum oleh Menkumham. Pencabutan status badan hukum tersebut sekaligus disertai dengan pernyataan pembubaran ormas tersebut. Selain sanksi administratif, terdapat sanksi pidana yang dapat dikenakan juga kepada setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut faham yang bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) PERPPU tersebut, dimana orang tersebut dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara penjara paling lama 20 tahun sesuai dengan ketentuan yang dilanggarnya. Selain itu, bagi yang melanggar PERPPU tersebut juga dapat diberikan sanksi tambahan sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.

VOL. III — SEPTEMBER 2017

Seri Hukum Acara Perdata — Gugatan Sederhana

Mahkamah Agung RI pada tahun 2015 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (Perma 2/2015). Menurut Perma 2/2015, Gugatan Sederhana adalah Gugatan Perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp 200 juta yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian yang sederhana. Penyelesaian melalui Gugatan Sederhana dapat digunakan untuk perkara cidera janji (wanprestasi) maupun perbuatan melawan hukum (PMH). Meski demikian, Perma 2/2015 dkecualikan untuk perkara yang penyelesaiannya diatur melalui pengadilan khusus seperti persaingan usaha, sengketa konsumen, perselisihan hubungan industrial, kepailitan dan PKPU, sengketa hak atas tanah, dan perkara khusus lainnya.
Kriteria lain yang ditentukan dalam Perma 2/2015 adalah para pihak yang bersengketa masing-masing hanya satu Penggugat dan satu Tergugat. Boleh lebih dari satu pihak bila memiliki kepentingan hukum yang sama. Pihak yang bersengketa boleh orang pribadi atau badan hukum. Selain itu, Penggugat dan Tergugat juga harus berdomisili (Kota/Kabupaten) dalam daerah hukum yang sama. Oleh karena merupakan Gugatan Sederhana, maka Para Pihak tidak dapat diwakili oleh Kuasa Hukum, namun dapat didampingi oleh Kuasa Hukum. Hukum acaranya tetap merujuk pada hukum acara perdata yang berlaku.

 


Seri Hukum Pidana – Perubahan Delik Formil Menjadi Delik Materil pada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor

Mahkamah Konstitusi pada tanggal 25 Januari 2017 kembali menjatuhkan putusan yang fenomenal bagi perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam perkara nomor 25/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh sebagian PNS dan Pensiunan PNS, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah Konstitusi, kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai hak atas kepastian hukum dan Pasal 28G ayat (1) UUD1945 mengenai jaminan akan rasa aman dan ancaman ketakutan. Selain itu, kata “dapat” juga tidak sesuai dengan konsepsi actual loss sebagaimana diadopsi dalam UU Administrasi Pemerintahan, UU Perbendaharaan Negara, UU Badan Pemeriksa Keuangan, dan UNCAC. Sesuai Pasal 1 angka 15 UU Badan Pemeriksa Keuangan, kerugian negara adalah kerugian yang “nyata dan pasti jumlahnya”.
Dengan demikian, hilangnya kata “dapat” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor telah mengubah sifat kedua pasal tersebut dari delik formil menjadi delik materiil. Putusan Mahkamah Konstitusi ini juga sekaligus mengubah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 yang sebelumnya tetap memandang Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sebagai delik formil.

 


Seri Hukum Perbankan — Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah wajib diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Demikian yang dinyatakan dalam Putusan MK No. 93/PUU-X/2017 tanggal 29 Agustus 2017. Adalah Ir. H. Dadang Achmad selaku Direktur CV. Benoa enginering consultants yang mengajukan pengujian Pasal 55 ayat (2) dan (3) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengenai Kompetensi Mengadili Pengadilan Agama terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak setiap warna negara untuk mendapatkan kepastian hukum.

Pasal 55 UU Perbankan Syariah menyatakan:
Ayat (1) “Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama”.
Ayat (2) “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad”.
Ayat (3) ”Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah”.
Menurut Pemohon, permasalahan timbul ketika dalam ayat (1) sudah menegaskan hanya Pengadilan Agama yang berwenang menyelesaikan sengketa Perbankan syariah, namun dalam ayat (2) dinyatakan bahwa para pihak boleh memilih forum penyelesaian diluar Pengadilan Agama sepanjang disepakati di dalam akad. Artinya BANI ataupun Pengadilan Negeri dapat saja menjadi forum penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Sementara dalam ayat (3) forum penyelesaian sengketa Perbankan Syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Disinilah timbul ketidakpastian hukum menurut Pemohon.

Atas permohonan Pemohon tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pilihan forum hukum sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah dalam beberapa kasus konkret telah membuka ruang adanya pilihan forum penyelesaian yang juga telah menimbulkan adanya persoalan konstitusionalitas yang pada akhirnya dapat memunculkan adanya ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan kerugian bukan hanya bagi nasabah tetapi juga pihak Unit Usaha Syariah. Adanya pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah sebagai mana tersebut dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU a quo pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili oleh karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah sedangkan dalam Undang-Undang yang lain (UU Peradilan Agama) secara tegas dinyatakan bahwa Peradilan Agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah termasuk juga sengketa ekonomi syariah. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi kumudian membatalkan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai pastian hukum. Dengan demikian sengketa perbankan syariah hanya dapat diselesaikan di Pengadilan Agama.

VOL. I — JULI 2017

Seri Hukum Pidana — Perluasan Objek Praperadilan

Praperadilan menurut KUHAP adalah mekanisme checks and balances atas setiap penyidikan/penuntutan untuk menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, ganti rugi dan rehabilitasi. Belakangan objek praperadilan tersebut diperluas berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, Nomor 130/PUU-XIII/2015, Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, dan beberapa putusan praperadilan lainnya. Kini objek praperadilan meliputi juga sah tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, bukti permulaan yang harus dimaknai sebagai minimum dua alat bukti, dan kewajiban penyidik untuk memberitahukan dan menyerahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum, Terlapor dan Korban/Pelapor dalam waktu tujuh hari setelah diterbitkan. Sesuai Pasal 77-83 KUHAP, praperadilan harus diajukan sebelum perkaranya dilimpahkan dan disidangkan ke Pengadilan Negeri. Bila jangka waktu tersebut dilampaui, maka praperadilan dinyatakan gugur seperti halnya Penetapan PN Jakarta Selatan No.16/Pid/Pra/2015/PN.Jkt.Sel.

 


Seri Hukum Keluarga — Perjanjian Pranikah

Perjanjian pranikah atau prenuptial agreement dimaknai sebagai perjanjian antara suami istri mengenai harta benda selama perkawinan berlangsung yang menyimpang dari ketentuan yang diatur di dalam undang-undang. Perjanjian pranikah diatur didalam KUHPerdata dan UU Perkawinan (Pasal 29) yang menghendaki dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, perjanjian pranikah yang harus dibuat sebelum perkawinan dianggap bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 karena dianggap membatasi hak dua individu, khususnya kapan perjanjian akan dilakukan. Dengan demikian, perjanjian pranikah dapat dibuat setelah perkawinan dilangsungkan.

 


Seri Hukum Kepailitan — Upah Buruh

Kedudukan tagihan kreditor-kreditor (separatis, preferen, konkuren) dalam perkara kepailitan seringkali menimbukan polemik dan perbedaan cara pandang, salah satunya kedudukan upah buruh terhadap tagihan kreditor lainnya. Sebagian kalangan berpandangan upah buruh berada pada antrian terakhir paritas creditorium. Namun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013, upah buruh mendapat kedudukan yang lebih tinggi dan mendahulu daripada kreditor lainnya. Putusan MK tersebut tegas menyatakan bahwa upah buruh didahulukan pembayarannya dari semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah.

 


 

Seri Hukum Perdata — Gadai Ulang Saham

Gadai merupakan salah satu lembaga penjaminan yang di atur dalam KUHPerdata mulai dari Pasal 1150 sampai dengan 1160 KUHPerdata. Gadai pada dasarnya diperuntukkan untuk menjaminkan benda bergerak dimana salah satunya adalah saham. Penggadaian saham di atur dalam Pasal 60 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Seringkali menjadi pertanyaan apakah saham yang digadaikan dapat digadaikan kembali. Pertanyaan ini timbul karena biasanya nilai saham yang digadaikan dimungkinkan melebihi hutang yang dijaminkan, selain kebutuhan pemilik saham akan modal. Baik KUHPerdata maupun UU No. 40 Tahun 2007 tidak mengatur ataupun melarang secara explisit mengenai hal ini. Akan tetapi, pada dasarnya penggadaian ulang saham sangatlah dimungkinkan dan tidak menyalahi ketentuan manapun. Hanya salah satu syarat utamanya adalah adanya pemberitahuan kepada dan persetujuan dari pemegang gadai saham bahwa saham yang dijaminkan akan digadaikan kembali. Hal ini untuk menjamin prioritas pemegang gadai saham tersebut (yang nantinya akan menjadi pemegang gadai saham pertama) dalam pelunasan hutang baik pelunasan langsung dari debitur (pemberi gadai) atau pun pelunasan melalui eksekusi gadai.

 

VOL. II — AGUSTUS 2017

Seri Hukum Pajak — Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan akan menggencarkan pemeriksaan wajib pajak pasca berakhirnya program pengampunan pajak atau tax amnesty. Pemeriksaan tersebut salah satunya dilakukan dengan membuka rekening nasabah perbankan. Oleh karenanya, Pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan (PMK 70) yang mulai berlaku pada tahun 2018. Berdasarkan PMK 70, DJP dapat mengakses data para nasabah perbankan. Jadi dana para deposan atau pemilik deposito di bank harus ikut dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak. Sehingga nantinya, Ditjen Pajak bisa melihat kepatuhan Wajib Pajak (WP) tersebut, dan hal ini juga berlaku bagi dana para deposan yang disimpan di luar negeri. Namun, PMK ini kemudian menjadi sorotan, terutama mengenai batas minimal saldo rekening yang wajib dilaporkan oleh bank. Semula dana yang wajib dilaporkan adalah sebesar Rp 200 juta, kemudian direvisi menjadi Rp 1 milyar. Perubahan tersebut tidak terlepas dari kritik berbagai pihak yang menilai batas minimal Rp 200 juta akan menyasar wajib pajak kelas menengah ke bawah dan merugikan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

 


 

Seri Hukum Tata Negara – Gubernur Perempuan Untuk DI Yogyakarta

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh permohonan Pemohon dalam uji materil Pasal 18 ayat (1) UU 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap UUD 1945. Putusan Nomor 88/PUU-XIV/2016 disahkan sejak dibacakannya putusan pada tanggal 31 Agustus 2017. MK menyatakan bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf m UU 13/2012 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Pemohon mempermasalahkan kata “istri” dalam bunyi pasal tersebut. Bunyi Pasal 18 ayat (1) huruf m UU 13/2012 menyatakan “calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: m. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak”.

Kata “istri” tersebut dinilai bersifat diskriminatif, seolah-olah hanya laki-laki yang bisa menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Tata pemerintahan keraton sendiri tidak pernah menghalangi seorang perempuan untuk menjadi raja, tetapi UU 13/2012 seolah-olah membatasi hal tersebut. Mahkamah dalam pertimbangannya menjelaskan bahwa frasa tersebut bertentangan dengan Pasal 18 B ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Kemudian Mahkamah menilai bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf m UU No. 13 Tahun 2012 membatasi hak-hak politik seseorang untuk menjadi calon Gubernur atau Wakil Gubernur DIY, khususnya dalam hal ini adalah perempuan.

Konsekuensi dari Putusan MK tersebut memungkinkan Kesultanan Yogyakarta bisa dipimpin oleh perempuan. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m yang selama ini membatasi peluang seorang perempuan untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY telah dibatalkan MK. Dengan putusan ini memungkinkan putri GKR Mangkubumi putri tertua Sri Sultan Hamangku Buwono X untuk menjadi Gubernur DIY.

 


Seri Hukum Lalu Lintas — Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan

Saat membayar pajak kendaraan, secara otomatis kita akan dikenai biaya Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) yang tertera di STNK. Fungsi dari SWDKLLJ adalah untuk memperoleh asuransi bila terjadi kecelakaan saat mengemudi di jalan raya. Asuransi tersebut dikelola oleh Jasa Raharja. Besarnya tarif SWDKLLJ tergantung dari tipe kendaraan.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 15 dan No. 16/PMK.010/2017 yang menggantikan PMK No. 36 dan No. 37/PMK.010/2008 memuat nominal SWDKLLJ yang harus dibayarkan oleh pemilik kendaraan serta besaran santunan yang akan diterima oleh ahli waris atau korban kecelakaan. Besar santunan untuk ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia sebesar Rp. 50.000.000, penumpang yang mengalami cacat dihitung berdasarkan presentase dalam PP 17/1965, perawatan dan pengobatan maksimal Rp. 25.000.000, penggantian biaya P3K Rp. 1.000.000, penggantian biaya ambulans Rp.500.000, dan biaya penguburan Rp. 4.000.000.

Cara mendapatkan santunan adalah dengan menghubungi kantor Jasa Raharja terdekat, kemudian mengisi formulir dengan melampirkan laporan kecelakaan dari polisi atau yang berwenang, dan surat keterangan dari dokter, KTP korban/ahli waris korban. Untuk korban luka-luka melampirkan biaya perawatan dan pengobatan yang asli. Hak santunan tersebut menjadi tidak berlaku bila mengajukan lebih dari 6 bulan sejak mulai terjadinya musibah atau tidak dilakukan penagihan dalam kurun waktu 3 bulan sejak hak santunan disetujui oleh Jasa Raharja. Santunan ini berlaku juga bagi penumpang yang turut menjadi korban kecelakaan.