VOL. VII — JANUARI 2018
Seri Hukum Keluarga – Menikah dengan Teman Sekantor Sah!
Fenomena larangan menikah dengan teman sekantor telah lama menjadi perdebatan bagi kalangan karyawan/pekerja. Larangan tersebut tegas diatur dalam Pasal 153 (1) huruf f UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”. Pasal tersebut kemudian diajukan judicial review oleh 8 karyawan PLN ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan hak warga negara membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah sebagaimana dijamin Pasal 28B (1) dan 28D (2) UUD 1945.
MK melalui Putusan No. 13/PUU-XV/2017 kemudian menyatakan frasa “kecuali yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” di dalam Pasal 153 (1) huruf f UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945. MK menimbang, ketentuan Pasal 153 (1) huruf f UU 13/2003 membawa konsekuensi bahwa pengusaha akan melakukan pelarangan adanya perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan, sehingga ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28B (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut juga menghilangkan jaminan kerja para Pemohon dan hak atas penghidupan yang layak serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja yang dijamin oleh Pasal 28D (1) UUD 1945. Jika perusahaan beralasan bahwa ketentuan demikian adalah penting untuk mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme, alasan tersebut tidak dapat diterima sebab terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah tergantung pada mentalitas seseorang. Konsekuensi dari putusan MK ini adalah membolehkan pekerja untuk menikahi teman satu kantornya. (RA)
Seri Hukum Hak Kekayaan Intelektual – Hapusnya Hak Merek Bila Tidak Digunakan Pemiliknya Selama 3 Tahun
Merek yang tidak digunakan oleh pemiliknya selama 3 tahun berturut-turut dihapus dari Daftar Umum Merek, demikian yang dapat disimpulkan dari Pasal 61 ayat (2) huruf (a) UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek (UU 15/2001). Ketentuan ini menjadi salah satu dasar dihapusnya merek “IKEA” untuk kelas barang/jasa 20 dan 21 oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagaimana Putusan Nomor 99/PDT.SUS-MEREK/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 17 September 2014. Adalah PT Ratania Khatulistiwa yang mengajukan gugatan penghapusan merek “IKEA” kelas 20 dan kelas 21 yang dipegang oleh Inter IKEA System B.V. Sebagaimana diketahui, merek kelas barang/jasa 20 terdiri dari perabot rumah, kaca, bingkai; benda-benda (tidak termasuk dalam kelas lain) dari kayu, gabus, rumput, bambu, rotan, tanduk, tulang, gading, tulang ikan paus, kerang, amber, kulit mutiara, selloid dan dari bahan-bahan penggantinya, atau dari plastik. Sedangkan merek kelas barang/jasa 21 terdiri dari perkakas rumah tangga atau dapur dan wadah kecil (bukan dari logam mulia atau bukan sepuhan logam mulia); sisir dan bunga karang; sikat (kecuali kuas melukis); bahan-bahan pembuatan sikat; perkakas dan alat untuk membersihkan; kulit besi untuk menggosok; kaca yang belum dikerjakan atau dikerjakan sebagian (kecuali kaca yang digunakan dalam gedung); barang pecah belah, porselin dan barang-barang tembikar tidak termasuk dalam kelas lain.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, berdasarkan Pasal 61 ayat (2) huruf (a) UU 15/2001 dan pembuktian di persidangan, kemudian menilai bahwa merek dagang IKEA untuk kelas barang/jasa 21 dan 20 tidak digunakan oleh Inter IKEA System B.V. selama tiga tahun beruturut-turut sejak merek dagang tersebut terdaftar. Oleh karenanya, berdasarkan Pasal 61 ayat (2) huruf (a) UU 15/2001 tersebut, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan menghapus merek “IKEA” untuk kelas barang/jasa 20 dan 21 yang dipegang oleh Inter IKEA System B.V. dengan segala akibat hukumnya. Putusan tersebut kemudian dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No. 264 K/Pdt.Sus-HKI/2015 tanggal 12 Mei 2015. Kini, UU 15/2001 telah dicabut dan diganti dengan UU No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU 20/2016), dan Pasal 61 ayat (2) huruf (a) UU 15/2001 pun telah diubah menjadi Pasal 74 ayat (1) UU 20/2016 mengenai penghapusan merek oleh pihak ketiga yang berkepentingan melalui gugatan ke Pengadilan Niaga. (RA/WG)
Seri Hukum Pidana — Pidana Memalsukan Surat Keterangan Sakit
Menurut UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), sakit merupakan alasan yang sah bagi pekerja untuk tidak masuk kerja. Pasal 93 ayat (2) jo. Pasal 153 UU Ketenagakerjaan bahkan menjamin hak pekerja untuk tetap menerima upah meskipun dalam keadaan sakit, dan karenanya tidak dapat dijadikan alasan untuk memutuskan hubungan kerja (PHK). Namun demikian, kondisi sakitnya pekerja harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter, sebagaimana Penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf (a) UU Ketenagakerjaan. Namun, bagaimana bila surat keterangan saksi tersebut ternyata palsu atau dipalsukan?
Memalsukan surat keterangan sakit atau surat keterangan dokter sebenarnya merupakan fenomena lama yang tidak dipahami pekerja sebagai suatu tindak pidana/kejahatan, karenanya lazim terjadi. Faktanya, memalsukan surat keterangan sakit merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 268 KUHP yang menyatakan “barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung diancam dengan pidana penjara selama 4 tahun”. Bila pelakunya adalah dokter, maka dapat dikenakan Pasal 267 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Meski merupakan tindak pidana, kasus-kasus pemalsuan surat keterangan dokter hampir jarang terdengar. Namun belakangan kasus pemalsuan surat keterangan dokter atau surat keterangan sakit kembali marak terdengar. Pada tahun 2016, dokter yang merawat terdakwa Eunike Lenny Silas diduga memberikan keterangan palsu mengenai kondisi medis terdakwa, namun tidak berlanjut. Pada akhir tahun 2017, dokter yang merawat tersangka Setya Novanto juga diduga membuat keterangan palsu mengenai kondisi medis tersangka pasca tabrakan, namun oleh KPK disangkakan dengan pasal merintangi penyidikan. Terakhir pada Januari 2018, Penyidik Bareskrim Mabes POLRI menangkap sindikat pelaku jasa pemalsuan surat keterangan dokter dengan modus memperjualbelikan surat keterangan sakit palsu melalui jejaring media sosial facebook dan instagram. Tidak tanggung-tanggung, pelakunya disangkakan dengan ketentuan berlapis antara lain Pasal 268 KUHP, Pasal 77 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (mengaku sebagai dokter), dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE (menyebarkan berita bohong dan menyesatkan melalui dokumen elektronik). (RA/WG)