Seri Hukum Pidana — Putusan Praperadilan Setya Novanto
Jumat, 29 September 2017, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar mengabulkan Gugatan Praperadilan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel. yang diajukan oleh Setya Novanto, Ketua Umum Golkar yang juga Tersangka tindak pidana korupsi e-KTP. Hakim Cepi menilai penetapan Setya Novanto sebagai Tersangka di awal penyidkan adalah keliru karena seharusnya di akhir penyidikan suatu perkara sebagai bentuk perlindungan bagi hak-hak tersangka. Selain itu, alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk perkara selanjutnya. Dengan pertimbangan tersebut, Hakim Cepi menyatakan penetapan Setya Novanto sebagai tersangka oleh KPK dibatalkan. Konsekuensinya, KPK tidak dapat mengajukan upaya hukum apapun atas putusan tersebut ke Mahkamah Agung, termasuk Peninjauan Kembali (PK). Namun, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (MA) No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Peradilan, khususnya Pasal 2 ayat (3), KPK berwenang menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka dengan syarat telah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, yang mana alat bukti tersebut berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.
Terlepas dari pro-kontra atas putusan tersebut, pertimbangan putusan tersebut telah memunculkan norma baru yakni “penetapan tersangka harus dilakukan di akhir penyidikan”. Artinya, pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan pengumpulan alat bukti agar diperoleh bukti permulaan yang cukup harus dipenuhi di awal penyidikan sebelum penetapan tersangka dilakukan.
Seri Hukum Pidana – Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi
Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi telah menegaskan dan mengatur lebih lanjut mengenai Korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana korupsi. Terbitnya Perma ini sudah sangat dinanti oleh penegak hukum, karena selama ini penerapan/pengenaan Korporasi sebagai pelaku dalam tindak pidana, khususnya korupsi masih sering terkendala dengan dalih hukum acara yang tidak jelas, hukum materilnya saling bertentangan, dan kendala-kendala lainnya. Oleh sebab itu, meskipun pemidanaan korporasi sudah diatur di berbagai undang-undang, namun pengenaan Korporasi sebagai pelaku tindak pidana masih sangat minim. Bahkan sebelum terbitnya PERMA ini, khusus dalam ranah tindak pidana korupsi pengenaan Korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi sama sekali belum pernah terjadi. Hal tersebut salah satunya akibat dari mekanisme dan tata cara (formiil) penanganannya yang belum memadai.
Atas hal tersebutlah Mahkamah Agung kemudian menerbitkan Perma ini, dimana tujuannya antara lain menegaskan dan menjelaskan kepada aparat penegak hukum dan lembaga Pengadilan tentang bagaimana tata cara penanganan bagi korporasi yang diduga melakukan tindak pidana. Perma ini mengatur jika sebuah korporasi diduga melakukan tindak pidana, maka penegak hukum dapat meminta pertanggungjawaban hukum kepada seseorang yang tercatat pada akta korporasi sebagai penanggung jawab korporasi itu, misalnya, direktur utama atau direksi. Sedangkan khusus terhadap koorporasinya, hanya dapat dikenakan denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, jika korporasi itu tidak sanggup membayar denda yang dikenakan, maka aset korporasi itu akan disita sebagai ganti kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidananya dengan mekanisme lelang. Terbitnya PERMA tersebut seolah dijadikan momentum bagi aparat penegak hukum untuk dapat menyasar korporasi yang selama ini terseret pusaran korupsi. Hal tersebut sebagaimana terjadi pada PT Duta Graha Indah atau PT Nusa Konstruksi Engineering yang telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Ditetapkannya PT Duta Graha Indah atau PT Nusa Konstruksi Engineering sebagai tersangka, merupakan pertama kalinya korporasi dijadikan tersangka oleh aparat penegak hukum khusus dalam ranah tindak pidana korupsi. Perkara ini sendiri masih bergulir di KPK dan belum masuk ke persidangan.
Seri Hukum Tata Negara — PERPPU Pembubaran Ormas
PERPPU No. 2 Tahun 2017 ini merupakan ketentuan Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Salah satu esensi perubahan tersebut adalah mengenai larangan-larangan untuk ormas dan sanksi yang dapat diberikan. Secara umum, ketentuan mengenai larangan-larangan dalam PERPPU tersebut adalah sama dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, namun dalam PERPPU tersebut terdapat beberapa tambahan larangan-larangan untuk ormas yang diatur dan dikelompokkan secara berbeda. Pengelompokan ini terkait dengan penjatuhan sanksi yang akan diberikan bila ormas melanggarnya. Larangan-larangan untuk ormas tersebut diatur dalam Pasal 59 ayat (1) sampai (4) PERPPU ini, diantaranya melarang penggunaan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan atribut lembaga pemerintahan [Pasal 59 Ayat (1) ], melarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan [Pasal 59 Ayat (3)], melarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila [Pasal 59 Ayat (4)].
Terhadap ormas yang melanggar ketentuan larangan PERPPU tersebut, Pemerintah dapat menjatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan klasifikasinya. Sanksi administratif bagi ormas berbadan hukum yang terdaftar di Kemenhumkam adalah pencabutan status badan hukum oleh Menkumham. Pencabutan status badan hukum tersebut sekaligus disertai dengan pernyataan pembubaran ormas tersebut. Selain sanksi administratif, terdapat sanksi pidana yang dapat dikenakan juga kepada setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut faham yang bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) PERPPU tersebut, dimana orang tersebut dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara penjara paling lama 20 tahun sesuai dengan ketentuan yang dilanggarnya. Selain itu, bagi yang melanggar PERPPU tersebut juga dapat diberikan sanksi tambahan sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.