VOL. III — SEPTEMBER 2017

Seri Hukum Acara Perdata — Gugatan Sederhana

Mahkamah Agung RI pada tahun 2015 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (Perma 2/2015). Menurut Perma 2/2015, Gugatan Sederhana adalah Gugatan Perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp 200 juta yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian yang sederhana. Penyelesaian melalui Gugatan Sederhana dapat digunakan untuk perkara cidera janji (wanprestasi) maupun perbuatan melawan hukum (PMH). Meski demikian, Perma 2/2015 dkecualikan untuk perkara yang penyelesaiannya diatur melalui pengadilan khusus seperti persaingan usaha, sengketa konsumen, perselisihan hubungan industrial, kepailitan dan PKPU, sengketa hak atas tanah, dan perkara khusus lainnya.
Kriteria lain yang ditentukan dalam Perma 2/2015 adalah para pihak yang bersengketa masing-masing hanya satu Penggugat dan satu Tergugat. Boleh lebih dari satu pihak bila memiliki kepentingan hukum yang sama. Pihak yang bersengketa boleh orang pribadi atau badan hukum. Selain itu, Penggugat dan Tergugat juga harus berdomisili (Kota/Kabupaten) dalam daerah hukum yang sama. Oleh karena merupakan Gugatan Sederhana, maka Para Pihak tidak dapat diwakili oleh Kuasa Hukum, namun dapat didampingi oleh Kuasa Hukum. Hukum acaranya tetap merujuk pada hukum acara perdata yang berlaku.

 


Seri Hukum Pidana – Perubahan Delik Formil Menjadi Delik Materil pada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor

Mahkamah Konstitusi pada tanggal 25 Januari 2017 kembali menjatuhkan putusan yang fenomenal bagi perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam perkara nomor 25/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh sebagian PNS dan Pensiunan PNS, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah Konstitusi, kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai hak atas kepastian hukum dan Pasal 28G ayat (1) UUD1945 mengenai jaminan akan rasa aman dan ancaman ketakutan. Selain itu, kata “dapat” juga tidak sesuai dengan konsepsi actual loss sebagaimana diadopsi dalam UU Administrasi Pemerintahan, UU Perbendaharaan Negara, UU Badan Pemeriksa Keuangan, dan UNCAC. Sesuai Pasal 1 angka 15 UU Badan Pemeriksa Keuangan, kerugian negara adalah kerugian yang “nyata dan pasti jumlahnya”.
Dengan demikian, hilangnya kata “dapat” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor telah mengubah sifat kedua pasal tersebut dari delik formil menjadi delik materiil. Putusan Mahkamah Konstitusi ini juga sekaligus mengubah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 yang sebelumnya tetap memandang Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sebagai delik formil.

 


Seri Hukum Perbankan — Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah wajib diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Demikian yang dinyatakan dalam Putusan MK No. 93/PUU-X/2017 tanggal 29 Agustus 2017. Adalah Ir. H. Dadang Achmad selaku Direktur CV. Benoa enginering consultants yang mengajukan pengujian Pasal 55 ayat (2) dan (3) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengenai Kompetensi Mengadili Pengadilan Agama terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak setiap warna negara untuk mendapatkan kepastian hukum.

Pasal 55 UU Perbankan Syariah menyatakan:
Ayat (1) “Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama”.
Ayat (2) “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad”.
Ayat (3) ”Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah”.
Menurut Pemohon, permasalahan timbul ketika dalam ayat (1) sudah menegaskan hanya Pengadilan Agama yang berwenang menyelesaikan sengketa Perbankan syariah, namun dalam ayat (2) dinyatakan bahwa para pihak boleh memilih forum penyelesaian diluar Pengadilan Agama sepanjang disepakati di dalam akad. Artinya BANI ataupun Pengadilan Negeri dapat saja menjadi forum penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Sementara dalam ayat (3) forum penyelesaian sengketa Perbankan Syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Disinilah timbul ketidakpastian hukum menurut Pemohon.

Atas permohonan Pemohon tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pilihan forum hukum sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah dalam beberapa kasus konkret telah membuka ruang adanya pilihan forum penyelesaian yang juga telah menimbulkan adanya persoalan konstitusionalitas yang pada akhirnya dapat memunculkan adanya ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan kerugian bukan hanya bagi nasabah tetapi juga pihak Unit Usaha Syariah. Adanya pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah sebagai mana tersebut dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU a quo pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili oleh karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah sedangkan dalam Undang-Undang yang lain (UU Peradilan Agama) secara tegas dinyatakan bahwa Peradilan Agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah termasuk juga sengketa ekonomi syariah. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi kumudian membatalkan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai pastian hukum. Dengan demikian sengketa perbankan syariah hanya dapat diselesaikan di Pengadilan Agama.