Seri Hukum Lalu Lintas – Masalah Konstitusionalitas Ojek Online Sebagai Angkutan Umum
Ojek atau angkutan orang/barang berbasis sepeda motor sudah dikenal di Indonesia sejak Tahun 1970an. Moda transportasi ini terus berkembang pesat mengalahkan moda transportasi lainnya seperti bus, bajaj, becak, bemo, angkot, dan lain sebagainya. Hingga kemudian muncul aplikasi ojek berbasis online (ojek online) seperti gojek yang beroperasi pertama kali pada bulan Oktober 2010, Grab Bike bulan Juni 2012 dan Uber pada April 2016. Menurut TribunNews.com jumlah ojek online saat ini di Jakarta sudah mencapai 1 juta driver aktif. Ditengah maraknya pertumbuhan ojek online tersebut, muncul upaya untuk melegitimasi ojek online sebagai angkutan umum, atau dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) disebut kendaraan bermotor umum. Berdasarkan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ, yang diakui sebagai kendaraan bermotor umum hanya mobil penumpang, mobil bus, mobil barang dan kendaraan khusus, sedangkan motor tidak diakui sebagai kendaraan bermotor umum. PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan juga tidak mencantumkan sepeda motor sebagai angkutan orang bermotor umum. Kemudian dalam Permenhub No. 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek juga menyatakan bahwa yang bisa beroperasi sebagai kendaraan bermotor umum yang mengangkut orang hanyalah mobil penumpang dan mobil bus. Tidak dimasukannya sepeda motor sebagai kendaraan bermotor umum inilah yang mendorong sebagian driver ojek online mengajukan Judisial Review (JR) Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ terhadap Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam Putusannya Nomor 41/PUU-XVI/2018 tanggal 28 Juni 2018, MK menolak permohonan para driver ojek online tersebut dan menyatakan Pasal 47 ayat (3) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut MK, angkutan jalan bertujuan untuk mendukung pembangunan dan integrasi nasional guna memajukan kesejahteraan umum, oleh karena itu sebagai sistem transportasi nasional maka angkutan umum harus mewujudkan keamanan dan keselamatan. Berdasarkan hal tersebut maka diaturlah kriteria jenis angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasa 47 ayat (3) UU LLAJ. Selain itu, Pasal 47 ayat (3) merupakan norma hukum yang berfungsi untuk melakukan rekayasa sosial agar warga menggunakan angkutan jalan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan, baik kendaraan bermotor perseorangan maupun kendaraan bermotor umum.
Meski demikian, MK tidak menutup mata adanya fenomena ojek online, namun hal tersebut tidak ada hubungannya dengan konstitusional atau tidak konstitusionalnya norma Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ karena faktanya ketika aplikasi online yang menyediakan jasa ojek belum ada atau tersedia seperti saat ini, ojek tetap berjalan tanpa terganggu dengan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ. Dengan pertimbangan tersebut, nampak bahwa MK tidak sepenuhnya menolak keberadaan ojek online. Namun tidak diakomodirnya sepeda motor sebagai angkutan orang bermotor umum dinilai MK tidak ada hubungannya dengan konstitusional Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ, karena tersedia atau tidaknya peraturan sepeda motor sebagai angkutan umum, ojek tetap diakui keberadaannya. (AST)
Seri Hukum Kepailitan – Ruang Lingkup Gugatan Lain-Lain Dalam UU Kepailitan dan Praktiknya
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“UU Kepailitan”) mengenal banyak forum penyelesaian sengketa, salah satunya Gugatan Lain-Lain yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan:
“Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor”.
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan:
“Yang dimaksud dengan hal-hal lain adalah antara lain, actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana Debitor, Kreditor, Kurator, atau penurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya”.
Dari ketentuan tersebut-lah kemudian Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan dikenal sebagai dasar hukum Gugatan Lain-Lain. Merujuk penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan, Gugatan Lain-Lain meliputi: (a) Actio Pauliana, (b) Perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau (c) Perkara dimana Debitor, Kreditor, Kurator atau Pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit, termasuk gugatan Kurator terhadap direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaian atau kesalahannya. Ketiga lingkup Gugatan Lain-Lain diatas nampak bersifat limitatif dan hanya dalam wilayah kepailitan, bukan PKPU. Ini tercermin dari kata “atau” yang tidak membuka celah ruang lingkup lain dan kedudukan Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan yang masuk dalam lingkup Bab II tentang Kepailitan. Dengan demikian, Gugatan Lain-Lain yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan terbatas hanya mencakup perkara dalam lingkup kepailitan.
Lalu apakah Gugatan Lain-Lain menjadi tidak dapat diajukan di tahap PKPU? PKPU berdasarkan Pasal 222 ayat (2) UU Kepailitan merupakan upaya untuk menyelamatkan debitor dari kepailitan dengan cara mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Titik tekannya ada pada “rencana perdamaian”. Dalam PKPU Debitor masih dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri dan karenanya wajib mengajukan rencana perdamaian (Pasal 222 ayat (2) UU Kepailitan) dan terhadap aset-aset Debitor tidak diletakan sita umum sebagaimana dalam kepailitan.
Pasal 222 ayat (2) UU Kepailitan:
“Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor”.
Namun demikian, dalam prakteknya ada Kreditor yang menempuh upaya Gugatan Lain-Lain terhadap Debitor yang PKPU-nya berakhir dengan homologasi. Salah satunya Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 15/Pdt.Sus-Gugatan.Lainlain/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst jo. No.40/PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dalam perkara tersebut Kreditor mengajukan Gugatan Lain-Lain terhadap Debitor agar Debitor menunda kewajiban pembayaran kepada salah satu Kreditor yang sedang dilakukan audit investigasi. Majelis Hakim kemudian mengabulkan Gugatan Lain-Lain tersebut. Dengan demikian, maka Gugatan Lain-Lain tidak hanya dapat diajukan ketika Debitor dinyatakan pailit (atau dalam lingkup kepailitan), namun juga dapat diajukan terhadap Debitor yang dinyatakan dalam PKPU yang berakhir dengan perdamaian (homologasi). (AST/WG)